Aku ingin bertemu dengannya, sekali saja.
Mengatakan apa yang selama ini kuingin. Tapi itu tidak
mungkin.
Barangkali, aku memang ditakdirkan untuk tidak diberi
kesempatan menemuinya lagi sejak ia memutuskan pergi dari hidupku satu setengah
tahun yang lalu.
Padahal sebenarnya, jika boleh berterus terang aku hanya
ingin menemuinya dalam kurun waktu kurang dari lima menit. Dalam obrolan yang
sudah kurancang jauh lebih lama sebelum itu. Ingin kuutarakan banyak hal,
sesuatu yang selama ini mengganjal benakku, penjelasan-penjelasan yang tidak
pernah kusampaikan, dan hal-hal lain yang berusaha kulewatkan tapi tetap saja
dengan setia mengikutiku sampai sekarang.
Aku ingin bilang padanya, bahwa hari itu aku merasa bukan
diriku yang sebenarnya. Jika rotasi bisa bisa berbalik ke arah kiri, aku akan
mencegahnya untuk memasuki duniaku. Memasang palang besar-besar di depan pintu,
sambil memberinya aba-aba, “Jangan masuk ke dalam, terlalu berbahaya.”
Namun kemudian, begitulah takdir bermain dengan skenario miliknya.
Dia hadir di hidupku, tanpa pernah kuduga-kuduga sebelumnya. Duniaku saat itu
abu-abu, lalu ia datang, memberiku banyak warna. Langitku yang semula mendung,
perlahan berwarna-warni.
Kehadirannya membuatku sedikit berkompromi dengan keadaan.
Ada banyak hal yang tidak bisa kukatakan pada banyak orang, tapi ia dapat
mengerti dengan sendirinya tanpa perlu kujelaskan panjang lebar
“Kamu itu kuat,” ujarnya.
Hari itu, ia duduk di seberang mejaku. Segelas kopi latte
di depannya, dan secangkir cappucino di depanku.
Aku tersenyum, aku tahu ia hanya sedang berusaha untuk
menghibur. Padahal sebenarnya, aku mengetahui sebuah fakta yang selama ini
kusimpulkan sendiri: orang yang mengatakan kamu kuat, adalah yang sebenarnya
tahu bahwa kamu itu rapuh.
“Aku takut,” pelan tapi pasti, kuberanikan diri untuk
memulai.
“Apa yang membuatmu takut?”
“Banyak hal,”
“Katakan satu saja, biar kamu tidak merasa sendirian.”
Aku menggeleng, meraih secangkir cappucino di depanku.
Kuteguk isinya perlahan, masih seperempat cangkir yang tersisa, sebentar lagi
tandas.
“Dea,” ia menyebut namaku.
Aku beralih menatapnya, “Ya?”
“Mau ikut denganku setelah ini?”
“Kemana?”
“Mengajakmu, ke suatu tempat.”
“Jauh?”
Kamu suka tempat yang
jauh?”
Aku mengangguk.
“Kenapa?”
“Karena semakin jauh aku pergi, aku bisa meninggalkan
banyak hal.” Suaraku serak, enggan memperpanjang obrolan.
Kemudian, daripada memilih menghujaniku dengan rentetan
pertanyaan selanjutnya, ia justru menatapku penuh pengertian. Kulihat ia
tersenyum, terpaku aku menatapnya dalam bisu. Aku benci berada di posisi ini, yang
harus terpaksa membiarkannya mengambil alih emosiku yang selama ini tertahan,
tidak bisa sepenuhnya kuluapkan. Tapi aku seperti tidak punya kendali di
depannya, memilih pasrah. Mempersilakannya untuk memasuki duniaku, menggali
sesuatu di dalamnya, menyimpulkannya sendiri.
Ia kemudian berdiri, memberi aba-aba agar aku ikut
dengannya. Aku mengikutinya, berjalan di sebelahnya. Dia tinggi semampai, aku
hanya sebatas bahunya. Berjalan bersisian dengan seseorang yang memiliki fisik
lebih kuat dariku, membuatku merasa terlindungi. Sesuatu yang tidak bisa
kurasakan pada sembarang orang. Bukan karena mereka tidak bisa seperti dirinya,
tapi aku hanya ingin dia saja.
“Mau kemana?” Aku sudah berada di belakang boncengan sepeda
motornya. Membelah jalanan Yogyakarta yang malam ini seperti diguyur kabut.
Mendung sedari pagi tak berkesudahan. Gemiris kecil mengguyur hingga sore, dan
puncaknya malam ini. Hujan sedang deras-derasnya saat aku sedang bersamanya
menikmati secangkir kopi di kedai tadi.
Tapi setelah itu hujan mereda, seolah semesta mengamini
permintaannya untuk membawaku menuju suatu tempat yang entah dimana.
“Jauh. Tapi kamu pasti suka.”
“Masih di Jogja?” aku bertanya lagi. Merapatkan jaket
kulitku.
“Dia tertawa, “Dea, kita cuma naik motor. Nanti, kalau kita
naik pesawat aku baru akan mengajakmu terbang. Jauh, ke luar pulau. Kamu mau?”
Aku mengangguk,
Asal denganmu, kemana pun kamu pergi, aku ikut.
Sepanjang perjalanan, dia lebih banyak bersuara. Sementara
aku hanya diam di belakangnya, sesekali mengangguk mengiyakan apa yang dia
katakan.
Lalu, tiba pada titik dimana dia bertanya “Siapa orang yang
saat ini sedang kamu suka?”
Aku diam,
“Rey,”
Dia menatapku sekilas dari kaca spion, melempar pandangan
“ada apa?”
“Aku ngantuk,”
Dia tersenyum mengangguk, tangannya meraih pundak kirinya.
“Tidur, di sini.”
Aku menurut, merebahkan kepalaku di atas bantalan selempang
tasnya pada bahunya yang sebelah kiri. Memejamkan mata. Padahal, sebenarnya aku hanya sedang pura-pura tertidur,
supaya aku tidak punya kesempatan untuk menjawab pertanyaannya lagi.
****