Tidak pernah mudah menjadi seseorang
yang lebih banyak membungkam mulutnya demi kata-kata. Tidak pernah menyenangkan
menjadi seseorang yang hanya punya cukup keberanian untuk menuangkan pemikiran
dan isi hatinya lewat tulisan. Meski semua orang tahu bahwa menulis adalah
keberanian. Keberanian menjadi diri sendiri. Berani merdeka dibalik kata-kata
yang dituliskannya.
Barangkali, aku
punya sindrom khusus yang membuatku kesulitan mengungkap maksud perkataanku
lewat lisan. Sehingga aku lebih banyak memendam. Pun jika harus terpaksa
kuluapkan, aku harus bersikeras memutar otak, agar orang-orang bisa mencerna
apa maksud dan mauku. Semua itu, hanya bisa kulakukan saat aku menulis.
Dengan menulis,
segalanya terasa lebih mudah. Seharusnya, aku menyadari sejak awal bahwa
menulis adalah murni keharusan. Tidak peduli apakah itu hobi yang harus
ditekuni, tidak peduli apakah nantinya seseorang yang membuat tulisan akan
benar-benar menerbitkan sebuah buku dan menyebut dirinya sebagai penulis.
Seharusnya,
menulis adalah pekerjaan yang kata –Pramoedya- adalah bekerja untuk keabadian. Jadi, mau tak mau, suka tak suka, menulis
saja. Setidaknya bebanmu akan berkurang saat paragraf demi paragraf yang
bersumber dari keresahan dan kegundahanmu itu dapat tertuang.
Menulis adalah
sarana yang membuatmu bebas bercerita tanpa harus butuh telinga untuk didengar.
Menulis adalah sarana untuk berlatih jujur pada dirimu sendiri. Menulis adalah
bahasa paling rumit yang tidak pernah mudah dipahami oleh orang-orang yang tidak
terbiasa menulis, tapi ketika seseorang telah menganggap menulis adalah sebuah
candu, maka ia akan dengan mudah mengerti maksud dari isi tulisan orang lain tanpa
harus sibuk menerka-nerka apa maksud dibalik tulisannya.
Aku mengerti bahwa
ketika aku menulis, menuangkan perasaanku dalam deretan aksara, aku tidak butuh
lagi pengakuan untuk didengar oleh orang lain. Cukup aku dan tulisanku, dan
bagiku itu sudah lebih dari cukup. Dan ya, satu lagi. Menulis adalah cara
paling mudah untuk menangis, tanpa sibuk menguras dan menyeka air mata. Begitu
kan?
Di satu sisi,
kadang aku merasa aku adalah seorang introvert. Orang-orang yang suka menulis erat kaitannya dengan 'introvert'. Aku punya sebuah dunia rahasia
yang selalu kututup rapat-rapat bahkan pada beberapa orang yang kuanggap cukup
dekat. Aku membaur, tapi di saat yang sama juga memiliki sekat. Aku berteman
dengan banyak orang, tapi satu-satuny teman yang paling kupercayai adalah
diriku sendiri.
Aku ingin menyebut
diriku sendiri introvert, tapi aku tidak membenci keramaian. Aku tidak senang
mengisolasi diri sendiri. Aku mencintai kebebasan dan senang mengobservasi
orang-orang.
Hanya
kadang-kadang, pada saat-saat tertentu aku begitu menyukai hening, sepi, dan
senyap. Aku menyukai ritual minum kopi di kedai kopi, duduk diam menyendiri
sambil berhadapan dengan layar selebar empat belas inci. Aku butuh ruang dan waktu khusus untuk sementara
waktu menepi dari hingar bingar, menghindar dari keramaian. Meski seringkali
mendapat sorot tatapan aneh saat aku pergi sendirian di kedai kopi, atau
jalan-jalan ke suatu tempat seorang diri.
Aku sedang belajar
menerima dua sisi dalam diriku yang berbeda. Entah pakar psikologi menyebutnya
Ambrivert atau bagaimana. Tapi satu hal yang bisa kusimpulkan dari diriku dan ada hubungannya dengan menulis adalah; semua orang bisa mendengarkanmu bercerita
tentang apa pun, tapi tidak semua orang bisa mengerti dirimu. Sementara saat
kamu menulis, setidak mengerti apa pun orang-orang saat membaca tulisanmu, setidaknya
kamu bisa memahami dirimu sendiri.
Dan bukankah tidak
ada pemahaman yang lebih menghibur hati, selain memahami diri sendiri? Menulis
itu tidak mudah memang, tapi akan lebih tidak mudah lagi jika kita tidak menulis.
Malang, Dialectica Synergy
01/06/2017
1:03 WIB
pict from here