“Sinta, dia
lamaran hari ini. Aku ikut bahagia.”
Aku
menatap notif pesan masuk itu dilayar ponselku. Meliriknya sesaat di sela-sela
pekerjaanku menatap layar komputer. Menghela napas. Bagaimana mungkin?
Bagaimana mungkin kamu bisa bahagia
melihat orang yang kamu cintai bersama orang lain? Seseorang yang tinggal di
hatimu selama bertahun-tahun? Yang dengannya kamu rela menyerahkan seluruh
hatimu, kamu korbankan banyak waktu untuk menunggunya, bersetia dengan sesuatu
yang bahkan tidak pernah disetujui dengan takdir semesta?
Aku
ingat bagaimana binar matanya saat ia bercerita tentang orang yang dia suka.
Ingat bagaimana kemudian cerita-cerita itu mengalir, harapan itu bertumbuh, dan
entah bagaimana lagi aku menyebutnya. Aku mengerti benar perasaannya sebab
tidak pernah mudah menjadi seseorang dengan hati setertutup itu. Menghindar
dari setiap kali yang berusaha datang hanya demi menunggu satu orang. Gila.
Tapi perasaan manusia tidak pernah bersepakat dengan logika. Kau boleh tidak
setuju dengan aku. Aku tidak peduli.
Juga,
ingat saat bagaimana hari itu aku
menemuinya setelah berbulan-bulan tidak bertemu. Dia mengenalkanku dengan
seseorang. Laki-laki pertama yang berhasil meruntuhkan tembok raksaksa di
hatinya selama ini. Aku takjub. Dia yang setertutup itu, yang bahkan tidak
pernah antusias bercerita tentang orang lain kecuali satu nama yang menyita
perhatiannya, hari itu terlihat begitu bahagia.
Satu
hal yang kemudian membuatku berujar, kepada laki-laki yang dia kenalkan.
“Mas,
hebat sekali kamu bisa melelehkan hatinya yang beku itu. Apa rahasianya?”
Laki-laki
itu tertawa,
“Apa yang membuatmu menyukainya?” kutanya,
Sahabatku
subjek dalam cerita ini, merona pipinya saat kutanyakan hal itu.
“Karena
dia orang yang bisa mengerti aku, dia satu-satunya orang yang paling ingin
kuhindari, tetapi semakin aku menghindarinya, dia membuatku terus menerus
berlari menujunya.”
“Kamu
nggak salah pilih orang kalau begitu,” aku tersenyum melirik seseorang di
sebelahku. Dia tersipu.
Kemudian,
aku mengamatinya. Menyimak obrolan mereka. Dua orang asing yang sebelumnya tak saling
kenal. Bertemu dalam satu waktu, merasa satu frekuensi, memutuskan bersama.
Lihat, bagaimana begitu mudahnya Tuhan membolak-balikkan hati manusia?
Aku
tersenyum. Ikut merasa lega karena ternyata takdir mempertemukannya dengan
seseorang yang lebih baik. Kini, hatinya telah berlabuh, dia tidak lagi perlu menunggu, ada seseorang
yang siap membagi dunianya bersamanya, menyimak cerita-ceritanya, menjadi yang
selalu ada setiap kali dia butuh. Dan yang terpenting, seseorang yang selalu
menganggapnya ada, mengerti dirinya. Kupikir, itu sudah jauh lebih dari cukup
Sekarang,
giliranku mempertanyakan diriku sendiri. Kapan? Kapan aku akan berhenti mencari sesuatu
yang seharusnya memang tidak ada? Dan kapan yang lain. Segala pertanyaan yang
tidak bisa habis kulontarkan.
Tetapi,
apakah semua orang punya hati yang sama? Apakah semua orang memang ditakdirkan
jatuh berulang-ulang pada orang yang sama sebelum pada akhirnya mereka
menemukan satu yang membuatnya tidak lagi ingin mencari siapa-siapa? Apakah sebuah
kesalahan bagi mereka yang masih terperangkap masa lalu, tidak peduli sekeras
apa pun mereka mencoba berlari, hanya demi melindungi hatinya agar tidak lagi
tersakiti? Kenapa rekontruksi batin manusia rumit sekali.
pict form here