Lampu
tidurku menyala remang tepat pukul 00.00. Hari ini, adalah titik pergantian
hari kemarin. Mataku masih mengerjap sesekali, kutarik selimut rapat-rapat,
suhu udara yang nyaris membuatku hiportemia di pagi buta, dan insomnia. Paket
sempurna.
Ada
yang mengetuk-ngetuk kepalaku hari ini.
Seluruh cerita yang kapasitasnya melebihi daya sanggupku menampung, orang-orang
bercerita yang kurekam di memori,
wajah-wajah yang menangis, teriakan dan jeritan penuh luka. Diam-diam, menjalar
memenuhi rongga dada.
Aku
kadang membenci bagian sensitif dari rasa empatiku terhadap orang-orang tetapi
lupa bagaimana cara diriku sendiri menampung kesedihan. Aku bisa begitu peduli
dengan orang-orang sementara kerapkali abai pada diri sendiri.
Ditengah
mataku yang terus berusaha memejam dan sesekali terbuka. Kulirik ponsel yang
lama kuletakkan di atas meja, layarnya berkedap kedip. Tidak ada nada dering di
ponselku, itu berarti tanda panggilan masuk. Aku bangkit meraihnya, membaca
nama kontak yang tertera di layarnya.
“Halo,”
serak suara seseorang di seberang sana.
“Ya,
halo.”
“Kenapa
belum tidur?”
“Kenapa
tahu aku belum tidur?”
“Jawab
dulu pertanyaanku,”
“Kamu
sudah tahu kenapa,”
Dia
sedikit tertawa, “Aku tahu kebiasaanmu, makanya aku menelpon.”
“Ada
apa?”
“Besok
Mama ulang tahun,”
Aku
diam sebentar, “Sekarang sudah ganti hari, apakah maksudnya hari ini?”
“Bukan,
besok. Satu hari lagi.”
“Lalu
bagaimana?”
“Mau
ikut makan malam denganku?”
“Apa
ini berarti undangan?”
“Iya,
boleh diterima?”
“Aku
pikirkan dulu,”
“Kamu
hanya harus datang, Mama pasti senang.”
“Apakah
aku harus dandan yang cantik?”
“Tidak
perlu, kamu sudah cantik.”
“Aku
tidak suka digombali,”
“Aku
tidak sedang menggombal.”
“Apa
aku harus pakai pakaian yang membuatku terlihat feminin?”
“Pakai
apa saja, senyamanmu. Ingat, kamu hanya perlu datang. Itu sudah membuatku
senang.”
“Aku
tidak janji, aku usahakan,”
“Aku
tahu kamu pasti datang,”
“Kenapa
yakin sekali?”
“Aku
cuma sedang menghibur diri sendiri,”
“Yasudah,
kamu tidak tidur?”
“Sebentar
lagi, kamu tidur lah. Jangan banyak pikiran.”
“Kamu
menambah satu lagi daftar pikiranku. Menyebalkan sekali.”
“Hahaha.
Sudah, ya? Tidur.”
Sambungan
terputus. Aku menghela napas. Sebenarnya aku tidak benar-benar bisa memprediksi
apa yang akan terjadi setelah ini. Dibuatnya aku kebingungan menerka-nerka
perasaanku. Ia tak melakukan banyak konfrontasi, tidak banyak melempar
kata-kata, tapi sekali waktu sikapnya membuatku habis kata.
Kadang,
di tengah badai yang sewaktu-waktu memporak porandakan isi kepalaku, aku hanya
butuh mendengar seseorang berkata ‘Tidak apa-apa, nanti pasti terlewat juga,’.
Dia tidak pernah mengatakan hal yang semacam itu, tetapi mendengarkannya bicara
tentang sesuatu yang tidak terduga adalah pengecualian. Termasuk apa yang baru
disampaikannya tadi. Sial.
Aku
bangkit. Meraih saklar di dinding kamar. Menyalakan tombolnya. Lampu kamarku
menyala. Tepat ketika kembali kesadaaranku berpikir, aku tercenung, apa hidup
itu seperti saklar lampu ya? Yang kadang menyala. Dan redup. Sesukanya.
source: tumblr.