Sore itu, ponselku berdering. Tertera panggilan di layarnya,
‘Nessa’. Ada sebersit senyum yang kemudian digantikan dengan rasa bimbang
sesaat setelah aku menyadari apa itu artinya. Setelah bertahun-tahun menghilang,
berusaha lenyap dari muka bumi, hanya untuk sebuah pertaruhan super tolol yang
disebut ‘melupakan’ lalu sekarang tanpa sadar aku terseyum selebar ini demi
melihat namanya muncul di layar ponselku? Gila.
Aku baru saja menyelesaikan meetingku di lantai dua puluh
gedung pencakar langit tempatku bekerja, dengan sisa-sisa tenaga yang barusan
kugunakan total untuk fokus dengan presentasi. Sebelum kemudian panggilan
darinya, dan semua perasaan sialan yang muncul berbarengan dengan huruf-huruf
pembentuk namanya itu, mengacaukan semuanya.
Lima menit. Dan setelahnya kewarasanku hilang. Aku
mengorbankan sedikitnya seribu dua ratus hari lebih hanya untuk pergi,
menghilang dan lenyap dari hadapannya bak di telan bumi. Lalu semuanya terlihat
seperti lelucon karena bahkan untuk menjawab telepon darinya aku hanya butuh
waktu kurang dari lima detik.
Aku diam sebentar ketika mendengar suaranya diujung sana,
menahan napas berat.
“Halo, Bray. Ini elo kan?” suara perempuan yang sejak dulu
selalu kukagumi jenis suaranya itu hari ini memanggil namaku setelah empat
tahun kami tidak bertemu.
Aku diam. Tiga detik.
“Ya. Ada apa Nes?”
Cerdik. Aku bisa mengendalikan diriku dengan baik. Kututupi
semua getar perasaan itu dengan nada suara senormal mungkin, meski setengah mati
aku menahan diri untuk tidak berjingkrak lalu menghujaninya dengan kalimat
murahan seperti “Nes, gue kangen banget sama elo!” detik dan saat itu juga.
“Sorry, gue lagi nggak sempet buat basa-basi nanyain gimana
kabar lo segala macem,” ujarnya dengan suara tergesa-gesa, “gue lagi butuh
banget pertolongan dari lo. Mau bantuin gue?”
Aku mencelos. Kalimatnya yang pertama berhasil membuat
wajahku kebas. Perempuan ini tidak berubah sejak dulu untuk urusan ‘anti
basa-basi’ bahkan setelah empat tahun lalu kami tidak saling berkomunikasi.
“Selagi gue bisa. Lo butuh bantuan apa?”
“Mobil gue mogok. Hujan deres banget
di Senayan. Gue nggak bawa payung kalau mau turun manggil tukang bengkel. Jadi,
please Bray lo ke sini. Bantuin gue. Gue tau kantor lo di daerah sini.”
Refleks, kulirik arloji di pergelangan tanganku. Setengah
enam lebih empat. Beralih menatap kaca jendela, di luar hujan lebat. Bayangan
Nesa yang sedang terjebak di balik kemudi mobil seorang diri di tengah hujan
deras mengusikku. Tanpa pikir panjang aku segera turun ke lantai dasar
menggunakan lift menuju loby.
“Lo dimana? Tungguin gue. Sepuluh menit lagi gue ke sana.”
***
Sebuah sedan silver terparkir di samping ruas jalan utama
arah Senayan. Instingku mengatakan pengemudi di balik kaca jendela mobil tembus
pandang itu adalah Nessa. Dan benar, karena tiba-tiba saja teleponku kembali
berdering sesaat setelah aku melintasi sedan itu sambil membuka kaca jendela
mobil.
“Mobil gue yang barusan lo lewatin.”
Aku berhenti. Serta merta menutup telepon itu sambil bergegas
turun menuju bagasi, mengambil payung sebelum akhirnya menghampiri Nessa,
mengetuk kaca jendela mobilnya.
Pintu
kaca jendela mobil itu perlahan terbuka. Aku tahu jika situasinya lebih baik,
pasti saat ini aku sedang berkesempatan melihat Nessa tersenyum sebagai salam
perjumpaan setelah empat tahun lalu kami tidak bersua. Tapi bahkan dalam
situasi seperti ini pun, dengan hanya menatap wajah Nessa tanpa sebersit senyum
di wajahnya aku sudah kehabisan kata-kata.
“God Bless!”
Nesa keluar dari mobilnya dengan perlindungan payung di
tanganku. Lihatlah, perempuan di sampingku ini karismatik. Tubuhnya semampai
dengan masih ditambah sepatu hak tinggi sekitar lima centi. Mengenakan blouse
warna putih lengkap dengan blezzer cokelat muda. Rambut cepol yang tertata
rapi, dan rahang wajahnya yang mengingatkanku dengan aktor ternama Hollywood:
Angelina Jolie.
“Apanya yang trouble?” tanyaku, berusaha mengalihkan
perhatian.
“Gue nggak ngerti mesin. Coba lo cek dulu deh mesinnya. Gue
curiga akinya bermasalah.”
Aku mengangguk. Beranjak menuju bagian depan mobil.
“Eh,” aku berhenti. Mendadak teringat sesuatu. “lo nggak mau
nunggu di mobil aja?”
Aku menatap Nessa yang sejak tadi masih berdiri di
sampingku. Sibuk menghalau tempias air hujan dengan tangannya.
“Nggak.” Ujarnya sambil menggelengkan kepala.
“Nanti baju kantor lo basah,” bujukku.
Nessa menggeleng lagi, lebih kuat.
“Nanti make up lo luntur.” Aku terkekeh, mencoba bergurau.
Tapi Nessa justru menggeleng lebih kuat dari sebelumnya
bahkan ditambah dengan melotot.
Aku menelan ludah.
Aku mengenalnya lebih lama dari siapa pun, maksudku dari
semua laki-laki yang pernah mengenalnya semasa SMA. Percuma saja membujuknya
dengan kalimat beragam rupa, perempuan di sampingku ini keras kepala.
“Buruan lo cek deh!”
Aku menurut, segera membuka kap depan mobil. Beruntung,
karena Nesa memanggil orang yang tepat untuk masalah teknisi seperti ini. Aku
sedikit banyak mengerti tentang mesin dan otomotif. Tiga setengah tahun aku
menyelesaikan studyku di bidang teknik elektro, memamah habis setiap jurnal
ilmiah tentang mesin dan elektronika.
Nessa. Adalah salah satu dari alasan paling kuat yang
membuatku mati-matian menyelesaikan studyku dalam waktu singkat. Alasan yang
memicuku setiap hari untuk mendapat nilai terbaik di semua mata kuliah yang
kupelajari. Hingga puncaknya, aku pergi ke Jerman. Meraih beasiswa, melanjutkan
program masterku di sana.
“Mana sini, biar gue pegangin,”
Aku menurut, membiarkan Nessa mengambil alih payung
ditanganku. Setidaknya aku butuh sepuluh menit mengoreksi bagian mesin yang
bermasalah.
“Kabel radiator lo bermasalah. Jarang nyervis lo ya?”
Nesa meringis, mengangguk kecil. Oh God, lihat! Gigi kelinci
yang berderet rapi itu, menyembul dari balik senyumnya yang tipis. Manis. Aku
menatapnya tiga detik-tanpa sadar-sebelum akhirnya dia menepuk pundakku. Aku
refleks terlonjak, mukaku kebas.
“Gimana? Lo bisa?”
Ini masalah kecil sebenarya, aku bisa menggunakan obeng dan
peralatan seadanya yang kubawa dibagasi mobil .
Tapi bertemu dengannya lagi setelah empat tahun berlalu
dalam waktu kurang dari tiga puluh menit, kurasa bukan sesuatu yang
menyenangkan. Maka aku terpaksa berbohong, memutar otak supaya aku bisa
memperpanjang pertemuan kami. Aku bilang padanya bahwa aku tidak membawa
peralatan yang kubutuhkan untuk memperbaiki kabel radiotarnya.
“Kalau lo mau, lo bisa gue anter pulang. Biar mobil lo ntar
gue yang ngurus. Gue usahain besok pagi lo udah bisa make.”
“Are you serious? Nggak ada cara lain?”
Aku dengan polos menggeleng. Nessa mencebikkan bibir
bawahnya-tanda ia sedikit kecewa. Tapi sesaat kemudian kulihat dia mengangguk,
“Yaudah, gue pulang bareng elo ya?”
Aku bersorak dalam hati, mengangguk mengiyakan.
“Terus mobil gue?”
“Nanti gue telpon orang kantor supaya bawa teknisi ke sini.”
Nessa sepakat. Untuk kemudian masuk ke dalam mobilku, duduk
di sebelah kemudi. Dari kaca jendela mobil, kuamati wajahnya baik-baik, sebelum
aku menutup pintu. Seandainya perempuan dua puluh lima tahun itu paham situasi,
maka ia akan mengerti bahwa menyetir mobil dengan dia duduk di sebelahku, bukan
perkara mudah sama sekali.
“Bray,”
Aku menoleh sekilas untuk kemudian kembali berkonsentrasi
penuh terhadap jalan raya,
“Kenapa Nes?”
“Apa kabar?”
Sumpah Demi Tuhan, pertanyaannya
barusan seperti menampar-nampar syaraf kepalaku. Aku sama sekali tidak menduga
dia akan bertanya soal kabar.
“Gue? Gue baik. Lo sendiri?”
Nessa mengangguk, “Gue juga sama.”
“Ngomong-ngomong, gimana lo bisa tahu kantor gue di daerah
sini?” aku bertanya, teringat percakapan kami di telepon.
Nessa tertawa, “Hahaha, gue tahu dari akun media sosial lo.”
Aku
refleks menelan ludah, menoleh ke arahnya lagi. Nessa sedang tertawa renyah,
menghadap ke arah depan lurus-lurus, kepalanya tidak menoleh ke arahku, sedikit
pun.
“Akun media sosial gue yang mana?”
“Semuanya. Mulai dari facebook lo, instagram, sampai
twitter.”
“Are you kidding me?”
“Ngapain gue bercanda?”
“Then, kenapa lo nggak nge-follow gue?”
“Because being stalker is more insteresting, Brotha!“
“Sejak kapan?”
“Empat tahun lalu.”
Aku mematung.
“Empat tahun lalu sejak lo memutuskan untuk lanjut s2 ke
Jerman. Dan setelah itu, kita nggak pernah saling komunikasi. Meskipun gue
masih nyimpen nomor telepon lo, yang ternyata sampai sekarang masih aktif.
Haha, gila setia banget lo ya. Satu tahun lagi udah mirip kredit cicilan motor
tuh!”
Tawa renyahnya kudengar lagi. Aku masih tidak habis pikir.
Apakah ini Nessa? Perempuan yang sudah kukagumi jauh hari sejak aku masih
berseragam putih abu-abu? Apakah ini dia, perempuan yang dulu sering kubonceng
saat berangkat sekolah menggunakan motor vespa? Apakah dia masih perempuan yang
sama, yang pernah kukenal dengan sangat baik selama tiga tahun kami duduk di
bangku SMA sembilan tahun lalu?
“Nes?”
“Ya?” kali ini, dia menoleh.
Kami bersitatap, diantara kemacetan yang memaksaku harus
menghentikan laju mobilku sementara waktu.
“Kenapa baru sekarang?”
“’Maksud lo?”
“Kenapa baru sekarang lo menghubungi gue?”
“Menurut lo apa gue masih harus menghubungi seseorang yang
waktu dia pergi, dia nggak pamit sama gue sama sekali? Gue kira lo menghindar.
Jadi buat apa?”
Soalnya kalau gue pamit sama lo, gue
mungkin nggak akan pernah jadi pergi Nes...
Pernyataan itu hanya bertahan di kepala. Enggan meluncur
keluar dari mulutku.
Lalu,
percakapan-percakapan setelah itu mengalir dengan sendirinya. Dari sana,
kutemukan fakta bahwa perempuan di sebelahku ini adalah seorang manager di
salah satu perusahaan terkemuka di Jakarta. Aku mendengarkan seluruh ceritanya
dengan takzim. Membiarkannya berbicara soal apa pun. Meski lebih banyak soal masa
lalu.
“Gue banyak belajar tentang etos kerja keras dari elo Bray.
Waktu kita sama-sama SMA dulu, gue yang biasanya datang telat, terpaksa harus
mengikuti jadwal berangkat sekolah lo yang selalu on time. Lo dateng pagi-pagi
banget, jemput gue di depan rumah pake Vespa. Sumpah, itu kendaraan yang
menurut gue lebih keren dari kendaraan mewah manapun.” Ujarnya. Matanya menatap
ke depan lurus-lurus, seolah ia sedang menyaksikan reka adegan nostalgia masa
putih abu kami pada sebuah layar yang ia ciptakan sendiri.
“Sampai akhirnya gue terbiasa disiplin. Gue rajin berangkat
pagi, meski lo nggak setiap hari jemput gue di rumah. Ranking lo selalu bagus
di kelas. Selalu menempati posisi tiga besar di sekolah. Hal yang membuat gue
terpacu untuk terus giat belajar. Lo ini jenius, tapi gue tahu kadang lo punya
bakat idiot. “
Nessa
tertawa.
“Kayak waktu lo nembak si Dea, temen sekelas kita dulu waktu
kelas satu, cuma buat membuktikan sama mereka kalau lo nggak maho. Haha,
sinting! Padahal gue tahu lo cuma main-main, nggak suka sama dia beneran.”
Mukaku
memerah. Dia masih ingat rupanya.
“Jadi kalau hari ini lo menempati posisi lo yang sekarang.
Waktu hari itu gue denger kabar kalau lo dapet beasiswa S2 ke Jerman. Gue sama
sekali nggak heran. Kerja keras lo, ketekunan lo belajar, membayar lunas
semuanya. You deserve it!”
Kemacetan perlahan berkurang, aku menarik porsneling, mulai
menjalankan kemudi mobilku. Percakapan ini benar-benar menyeretku pada masa
lalu.
“Lo juga Nes. You grow up so fast! Cewek yang dulunya
badung, sering bolos, jago nyontek dan di sekolah selalu bikin onar itu
sekarang jadi manager perusahaan besar. There is nothing impossible, and you
belive it!”
“Gue masih inget mimpi lo. Jadi wanita karir, pakai rok
selutut, baju kantoran, duduk di depan komputer dengan meja dan kursi besar. Di
ruangan pribadi lo sendiri. Di atas gedung nomor sekian puluh yang punya kaca
jendela simetris, yang dari sana lo bisa melihat kota Jakarta dari atas gedung
seperti New York versi Indonesia dengan skala yang lebih kecil. Itu fantastis!”
Nessa menoleh, cepolan rambutnya terlepas. Kini membentuk
simpul rambut hitam panjang yang tergerai dan sedikit bergelombang. Aku
menatapnya terkesima.
Ah!
Dari dulu sampai sekarang lo masih tetap sempurna di mata gue.
“To be honest, gue mau ngucapin makasih banyak sama lo.
Mungkin kalau waktu itu kita nggak sekelas, kalau gue nggak ketemu sama lo, gue
nggak akan jadi gue yang sekarang,”
“It’s too much Nes!” aku menggeleng, “Lo bisa jadi diri lo
yang sekarang karena lo punya tekad yang kuat untuk berubah. Sama sekali bukan
karena gue.”
“Lo pernah bilang, semua orang bisa berubah asal dia mau.
Jadi, makasih untuk pernah bilang itu. Makasih untuk pernah datang, ngajarin
gue banyak hal. Gue berhutang banyak sama lo.”
Usiaku dua puluh enam. Lebih dari cukup untuk mengutarakan
perasaan pada perempuan yang kucintai seperti layaknya laki-laki sejati. Maka
sore ini, nyaliku seperti diuji. Benar kata mereka, laki-laki sepertiku mungkin
bisa bicara cinta dengan mulus tanpa cacat pada seribu perempuan. Tapi pada
satu yang benar-benar membuatnya jatuh cinta dengan amat sangat, rasanya akan
amat sangat sulit.
Keringat dingin mengalir deras di pelipisku, telapak
tanganku ikut basah. mulutku baru saja akan membuka dan memulai semuanya. Tapi
sia-sia, dayaku seperti menipis. Mulutku terkatup lagi. Melihat ada sesuatu
yang ganjil di hadapannya, Nesa menatapku menyelidik.
“Bray, lo kenapa? Sakit?”
Aku menggeleng. Mati-matian membuat lengkung senyum supaya
ia percaya semuanya baik-baik saja.
“Nes,” bergetar, aku memanggilnya. Masih dalam keadaan
menyetir.
Dia menatapku dan bertanya dengan tatapan, “ada apa?”
“Gue tau ini terkesan terburu-buru setelah pertemuan kita
empat tahun lalu, tapi izinkan gue memohon sesuatu. Apakah, apakah lo bersedia
jadi istri gue Nes? Apakah lo mau jadi seseorang yang nantinya akan duduk di
sebelah gue, berangkat dan pulang kerja naik mobil gue setiap hari, seperti
waktu kita berangat dan pulang sekolah sama-sama naik vespa dulu?”
Tanpa kuduga, reaksinya justru malah tertawa. Tawa yang
bukan tawa seperti ketika anak perempuan mendapat boneka baru dari ayahnya,
tapi tawa yang lain. Tawa yang di dalamnya ada rasa getir.
“Kenapa baru sekarang?” tanyanya.
“Karena gue tidak ingin menunggu selama empat tahun
berikutnya, atau empat tahun yang lain.” Kujawab.
“Brian,” ia memanggil namaku tanpa memenggalnya.
“Elo itu tampan, pinter, bisa diandalin, idola gue sejak
jaman SMA. Nggak nyangka orang yang gue suka bertahun-tahun itu akhirnya
ngomong di depan gue. Dan nggak tanggung-tanggung, minta gue buat jadi
istrinya, bukan cuma sekedar pacar atau temen biasa seperti yang selalu lo
bilang selama ini. Haha, bangunin gue tolong kalau ini cuma mimpi.”
“Lo suka sama gue?”
Faringku terasa seperti dicekik, refleks menoleh ke arahnya.
Menatapnya dengan pandangan “mana mungkin?”
Nessa tersenyum, “Iya, sebelum ada seseorang yang berani
menyatakannya lebih dulu. Dia mungkin nggak sesempurna elo di mata gue. Tapi
seenggaknya, dia menghargai bahwa gue ada, dia nggak membiarkan gue
menghabiskan waktu percuma untuk menunggu sesuatu yang nggak pasti. ”
“Bray, lo mungkin ngajarin gue banyak hal. Tapi sayangnya,
lo nggak pernah ngajarin gue cara menunggu seseorang tanpa kepastian.”
“Hari ini, maafkan gue harus mengatakan ini. Tapi izinkan
gue datang sebagai teman baik. Bulan depan gue merit, dateng ya!”
Nessa menepuk pelan bahuku, mengeluarkan sesuatu dari dalam
tasnya.
Amplop merah muda dengan nama Nesa dan seseorang di
sebelahnya.
Airlangga Haryanto
Rivalku yang sejak dulu sudah berjuang mati-matian demi
merebut hatinya sejak jaman SMA.
Hari ini atas nama perasaan yang bertahun-tahun menghantuiku
tanpa pernah berani kuungkapkan. Aku menyebut diriku sendiri sebagai pecundang.
Selamat
Nes, hari ini persaingan itu berakhir sudah. Aku kalah.
****
Malang,
11 Maret 2017
22:05
WIB
PS:
draft tulisan lama yang baru sempat dilanjutkan setelah sekian lama vakum.
\
pict by tumblr