Probolinggo menuju Malang, 17 Maret
2018
Pagi
itu, selepas menghadiri undangan salah satu kawanku, aku menuju
terminal Probolinggo. Mencari bis tujuan Malang, naik salah satu bis kelas ekonomi. Aku
duduk di salah satu kursi, di dekat jendela. Tak selang berapa lama, bis yang
kutumpangi pun melaju. Tiga puluh menit kira-kira, sesampainya aku di terminal
selanjutnya, bis itu berhenti. Dari arah depan, seorang konduktor bus
berteriak, “Pak, Bu, oper bis yang di belakang ya!”
Aku
melihat sekeliling, penumpang bis berbondong-bondong untuk turun. Maka aku bergegas,
turun dari bis itu dan berpindah satu bis di belakangku. Aku naik dari pintu
belakang. Bagian depan tempat duduk masih banyak yang kosong, tapi entah kenapa
hari itu aku lebih memilih mencari tempat duduk bagian belakang, di dekat pintu
masuk.
Aku
sedang berdiri di lorong bis ketika kemudian kulihat disebelahku ada seorang
Ibu parah baya duduk sendirian. Pertama kali melihatku Ibu itu tersenyum, maka
aku berkata kepadanya “Bu, sebelahnya kosong?”
Ibu
itu mengangguk ramah, “Kosong Mbak,”
Lalu
aku duduk, di sebelahnya.
“Mbak,
makan.” Ujarnya sambil menawarkan risol yang barusan ia beli dari penjual
asongan yang menjajakan dagangannya dari satu bis ke bis yang lain.
“Iya Bu, terimakasih.”
Aku
mengangguk demi kode etik, menolak dengan halus.
Tidak
ada yang ganjil dari Ibu itu sebelum kemudian aku melihatnya mengeluarkan sesuatu
dari dalam tasnya. Sebuah tablet obat kecil.
“Saya
nggak bisa mimum obat kalau nggak sama makanan Mbak,” terangnya, kemudian
mengunyah obat itu bersamaan dengan risolnya.
“Ibu
sakit?”
“Iya
mbak, saya kena kanker serviks stadium 3b.”
Aku
sontak terdiam. Sama sekali tidak menyangka Ibu yang terlihat sangat energik di
sebelahku ini mengidap kanker serviks.
“Sudah
berapa lama Bu?”
“Berapa
lama ya Mbak, sudah sejak tahun 2017 kemarin.”
“Tadi itu obat untuk apa Bu?”
“Itu
obat buat meredakan nyeri Mbak. Nyeri di bagian perut. Biasanya saya nggak
pernah nyeri begini. Saya juga jarang minum obat,”
“Memangnya
nggak berbahaya kah Bu, kalau obatnya tidak diminum?”
Ibu
itu menggeleng, “Saya itu kalau nggak
kepepet banget, obatnya nggak pernah saya minum Mbak. Saya lebih sering minum teh
herbal. Alhamdulillah, setelah minum teh itu kondisi saya jadi lebih fit.”
Kemudian
mengalirlah cerita-cerita dari bibirnya. Cerita pengalaman hidup yang membuatku
merasa beruntung karena kalau seandainya aku tidak oper bis, aku tidak mungkin
bertemu dengan perempuan hebat itu. Kudengarkan setiap ceritanya dengan seksama. Antara takjub, terharu, serta perasaan-perasaan lain yang
meletup-letup diantara kedua itu.
Namanya
adalah Bu Botty, lahir sekitar enam puluh sekian tahun yang lalu. Aku lupa saat
ia menyebutkan usianya, yang jelas di angka kepala enam. Ia punya seorang suami yang juga menderita
penyakit diabetes sehingga lebih banyak melakukan aktifitas di rumah, dan lima
orang anak, empat diantaranya sudah berkeluarga. Beliau berasal dari
Probolinggo, ingin mengunjungi salah satu saudaranya yang ada di Lawang,
Malang. Hebatnya, di usianya yang tidak lagi muda, dalam kondisinya yang
terbilang “sakit parah” ia tetap melakukan banyak hal fisik sendirian. Termasuk
perjalanannya kali ini.
“Ibu
kenapa pergi sendirian?” kutanya.
“Saya
sudah terbiasa pergi kemana-mana sendiri Mbak.”
“Anak-anaknya
nggak ada yang nganterin Bu?”
“Anak-anak
saya sibuk semua Mbak.”
Saat
mendengar jawabannya, ada ngilu yang diam-diam menjalar di dadaku. Seketika aku
ingat Ibuku. Membanyangkan aku yang sering membuang banyak kesempatan untuk
menemaninya jika ia membutuhkan sesuatu. Jarak yang jauh membuatku tidak bisa
setiap saat ada untuknya.
“Tapi
ini lah yang justru memotivasi saya. Anak-anak saya sering bilang “Mama nanti
kalau kemana-mana kita anterin, malah jadi manja. Ayo Ma! Mama harus semangat.
Nggak boleh nyerah. Mama harus kuat.””
“Anak-anak
saya sering bilang gitu Mbak, justru saya semakin termotivasi buat pergi-pergi
sendiri. Saya periksa sendiri, check-up, kemoterapi, sampai opname saya
sendiri.”
“Wah
hebat sekali Bu,” aku tidak bisa menahan diri untuk memberinya apreasiasi. Bahkan dalam salah satu ceritanya, ia mengatakan pernah pergi mengunjungi saudaranya di Jombang dengan mengendarai sepeda motor sendiran.
“Mbak,
kemoterapi itu rasanya sakit sekali. Benar-benar sakit. Bahkan sebagian besar
penderita kanker biasanya gundul. Tapi Alhamdulillah selama kemoterapi rambut
saya belum pernah ada yang rontok.”
“Iya
kah Bu?” Awalnya aku tidak percaya, tapi kemudian ia menarik bagian atas ped
jilbabnya. Menunjukkan bagian rambutnya yang masih nampak tebal. Aku ternganga.
“Sampai
dokternya menjambak rambut saya berkali-kali Mbak, dia bilang “Kok Ibu ini kuat sekali?
Rambutnya tetap nggak rontok padahal sudah saya jambak””.
“Tapi
Bu, kok bisa nggak rontok?” aku masih penasaran.
Bu
Botty tersenyum, “Soalnya orang sakit itu harus kuat fisik sama pikiran Mbak.
Saya selalu merasa saya ini sehat walaupun saya sakit. Pokoknya rasa sakit itu
harus bisa saya lawan, saya nggak boleh lemah. Banyak teman-teman saya, yang
juga sama-sama mengidap kanker merasa tidak sekuat saya saat sedang dalam masa
pengobatan. Saya kasih semangat sama mereka, padahal usia meraka ada yang jauh
lebih muda dari saya, saya bilang ‘Kamu harus semangat! Nggak boleh lemah!’"
“Saat
teman-teman saya di rumah sakit harus dipapah waktu mau ke kamar mandi, saya
memilih jalan sendiri sambil bawa infus. Padahal, stadium sakitnya lebih ringan
daripada saya. Orang sakit itu harus kuat, jangan sedikit-sedikit ngeluh,
merasa dirinya lemah, dan merasa nggak bisa berbuat apa-apa. Selain itu, saya juga
nggak mau ngrepotin orang lain Mbak.”
Aku
semakin terkagum-kagum dengan Ibu ini. Rasanya aku seperti sedang mendengarkan
cerita dari seorang perempuan berumur tiga puluhan. Fisiknya energik dan wajanya
masih tetap awet muda. Siapa pun yang baru mengenalnya pasti tidak menyangka bahwa ia tengah mengidap sakit.
Aku semakin larut dalam ceritanya saat ia mulai menceritakan
kisah hidupnya. Perjalanan hidupnya beberapa tahun ke belakang. Bermula ketika
seorang pengamen naik ke atas bis yang kutumpangi. Bu Botty mengarahkan
tatapannya pada pemuda yang sedang bernyanyi di lorong bis bagian depan. Lalu ia berujar
kepadaku, “Mbak, itu dulu dia ngamen sejak waktu dia masih kecil. Sampai
sekarang.”
“Masnya
yang itu Bu?”
“Iya.”
“Ibu
kenal?”
“Dulu
Ibu sering ketemu dia waktu masih kerja jadi kondektur bis, Mbak.”
“Kondektur
Bu?”
“Iya
Mbak, saya dulu pernah kerja jadi kondektur bis. Pertama kalinya ada kondektur
bis perempuan di terminal Probolinggo waktu itu, saya bilang sama supirnya,
awalnya nggak diterima tapi setelah memohon dan berhasil meyakinkan, akhirnya
saya diterima kerja.
“Keras
kalau ingat pengalaman saya waktu itu Mbak. Saya kerja di jalan, nahan ngantuk,
yang paling berat itu mencatat nomor tiket sama jumlah kursi penumpang. Selama
perjalanan saya harus tetap terjaga. Nggak boleh tidur. Saya masih ingat awal
saya jadi kondektur bis jurusan Banyuwangi. “
Aku masih asik menyimak perjalanan Bu Botty,
yang masih antusias menceritakan beberapa bagian perjalanan hidupnya. Mendadak aku
jadi teringat seorang tokoh bernama ‘Sri Ningsih’ dalam novel Tere Liye yang
berjudul ‘Tentang Kamu,’.
“Waktu
itu Mbak, saya kerja apa saja sebisa saya, yang penting halal. Saya kerjakan
apa saja buat membiayai anak-anak saya sekolah. Memang suami saya juga bekerja,
sama-sama kerja di terminal. Tapi saya harus tetap bantu suami saya, karena
kebetuhan ekonomi saat itu banyak sekali.”
“Sampai
akhirnya waktu itu, ada sanak saudara yang menawarkan saya bekerja di restaurant.
Di Belanda Mbak. Tahun 2000 waktu itu. Saya memutuskan merantau. Biar anak-anak
saya di rumah sama Bapaknya. Saya nekat pergi ke luar negeri.”
“Saya bekerja di restaurant. Masak
makanan khas Indonesia di area Halal Food di Belanda. Gajinya lumayan tapi saya
tidak bisa pulang setiap tahun sampai lima tahun kemudian, tahun 2005 saya
pulang ke Indonesia.”
“Awal
kerja di sana, saya nggak hapal sama jalan-jalannya, tapi saya selalu pergi-pergi
sendiri. Pokoknya kalau nyasar, saya tinggal telpon teman saya.” Bu Botty
tertawa,
“Waktu
itu saya bawa kamera kecil dari rumah, jadi setiap saya pergi ke suatu tempat
selalu saya sempatkan untuk mengambil foto. Buat kenang-kenangan, kapan lagi
saya bisa keluar negeri. Sekarang kalau semua foto itu dikumpulan ada seribuan
lebih. Saya buat album di rumah, sering dilihat sama anak-anak dan cucu-cucu
saya. Anak-anak saya sering menggoda saya, katanya, “Mama ini bergaya sekali ke
luar negeri padahal di sana cuma jadi
babu,” Saya bilang, “biarin babu, yang penting babu elit karena pernah pernah
pergi ke Eropa,”” Bu Botty tertawa. Aku nyengir mendengarnya.
“Mbak, saya ada cerita lucu waktu itu. Saya pernah ditangkap polisi Prancis.” Katanya sambil
terkekeh.
“Prancis
Bu?”
“Iya
Mbak, selama bekerja di Belanda saya berkesempatan mengunjungi beberapa
negara Eropa. Salah satunya Prancis. Jadi waktu itu ada larangan untuk
mengambil foto di depan menara Eiffel dengan batas jarak tertentu. Tapi
saya tetap foto di sana, melanggar batas itu. Karena ketahuan, akhirnya saya ditangkap sama polisi
Prancis, di tahan beberapa waktu sampai akhirnya Saudara saya datang dan saya
dibebaskan,“
Aku terkekeh mendengarnya, “Pengalaman Ibu
seru sekali ya Bu,”
Dia
tersenyum, matanya mengawang jauh ke dapan. Mungkin ia sedang kembali ke masa
lalu.
“Kalau
lihat foto-foto saya jaman dulu, rasanya saya pengin ketawa Mbak. Waktu itu
saya masih muda, saya belum berhijab seperti sekarang. Masih berpakain pendek,
sambil bergaya macam-macam. Cucu-cucu saya sering protes kenapa Omanya dulu
bisa begitu.”
Cerita
Bu Botty soal Belanda, Eiffel, dan Eropa membuatku merasa seolah jarak Malang
ke Belanda cuma lima kilometer saja. Aku jadi bisa membayangkan negara-negara
itu lewat ceritanya.
“Maaf
ya Mbak, saya jadi malah cerita panjang sekali.”
“Oh,
nggak apa-apa Bu. Saya justru senang dengerin cerita Ibu.”
“Saya
sampai lupa, Mbak namanya siapa?”
“Saya
Sinta Bu,”
“Kuliah
di Malang?”
“Iya,”
“Anak
saya dulu juga kuliah di Malang Mbak, sekarang anak-anak saya sudah besar.
Sudah lulus semua. Perjuangan saya buat menyekolahkan anak-anak saya sampai
sarjana sudah selesai. Mereka sudah tahu bagaimana seharusnya mereka membalas
jasa orangtua.”
Kelima
anaknya semuanya berhasil. Dari cerita beliau, aku mengetahui bahwa ada seorang
anaknya yang sekarang menjadi lurah di desanya, ada yang bekerja di proyek
sebagai arsitek, ada yang membuka warung usaha, ada juga yang menjadi guru.
Ibu-ibu hebat akan melahirkan anak-anak yang hebat pula.
Tidak
terasa hampir tiga jam aku berbincang dengan Bu Botty. Macet long weekend
di ruas jalan Malang-Purwosari membuat perjalanan Malang-Probolinggo menjadi
satu jam lebih lama dari seharusnya. Sampai akhirnya bis itu membawa kami
menuju Donatello, aku tahu waktuku berbincang dengan Bu Botty tidak akan lama
lagi. Sebentar lagi tiba di Lawang, itu berarti Bu Botty akan segera turun.
“Mbak,
Ibuk sebentar lagi turun.” Ujarnya sambil mengemasi barang-barangnya.
“Terimakasih
ya sudah mau dengerin cerita Ibu,”
Aku
sekali lagi mengangguk. Harusnya saya yang bilang terimakasih Bu, cerita Ibu
menginspirasi sekali.
“Hati-hati
nanti di jalan ya. Semoga sukses kuliahnya,”
“Aamiin
Bu, terimakasih. Ibu juga semoga lekas sembuh ya Bu,”
Ada
perasaan haru karena sebentar lagi aku akan berpisah dengan Bu Botty. Banyak pelajaran yang kudapat dari perjumpanku
dengannya. Tentang kerja kerasnya, semangat hidupnya, keberaniannya melawan
kerasnya hidup, juga pengorbanannya untuk keluarga dan anak-anaknya.
Saat
akhirnya Bu Botty memohon diri untuk berpindah kursi persis di sebelah pintu
keluar dengan tujuan supaya lebih mudah saat hendak turun nanti, aku dilema
dengan pikiranku sendiri. Ada sesuatu yang mengganjal benakku. Aku ingin
bertemu dengannya lagi di lain kesempatan, apalagi saat kutahu ia sering
berkunjung ke Malang. Tapi bagaimana?
Tinggal
menunggu detik lagi, Bu Botty akan segera turun . Aku menghitung mundur dalam
hati. Inilah saatnya, ragu-ragu aku akhirnya bertanya:
“Bu,
ada nomor telepon yang bisa dihubungi? Boleh saya minta nomornya?”
Tidak
disangka, ia merespon dengan sangat baik. Ia segera mengambil sebuah ponsel
mini di tasnya, mendikte nomor teleponnya.
“Coba
miscall saya Mbak,”
“Sudah
masuk Bu?”
“Iya
Mbak sudah, saya simpan ya.”
“Mbak,
kapan-kapan kalau saya di Malang nanti saya hubungi ya, siapa tahu nanti bisa
ketemu lagi.”
Aku
mengangguk, “Iya Bu siap.”
Di
depan sana, pada halte yang membuat akhir pertemuan itu berujung. Di tengah
gerimis yang perlahan mulai menderas, Bu Botty turun dari bis setelah
sebelumnya menjabat tanganku. Melambaikan tangannya dan tersenyum.
Aku
yang masih sempat melihatnya dari kaca jendela saat bis perlahan mulai melaju,
melambaikan tangan dari kejauhan.
Sampai
jumpa lagi Bu, semoga nanti saat berkesempatan bertemu kembali, Ibu sudah sehat
dan tidak sakit lagi.
Malang, 05
April 2017
21:59 WIB