Malioboro. TransJogja. Jalur 1 A, adalah tujuanku pagi itu.
Jalur itu adalah rute yang akan membawa penumpang menuju Titik Nol Kilometer
hingga Prambanan. Sebenarnya, aku sedang tidak bertujuan. Tidak tahu mau
kemana, jadi aku hanya ingin berkendara. Berkeliling Jogja, sampai nanti
kembali berhenti di halte tempat aku menaiki bis semula. Duduk di kursi paling
belakang, di dekat jendela. Kupasang headsetku, memutar salah satu playlist
lagu kesukaanku. Menyenderkan kepalaku ke kaca. Memilih menepi dari keramaian
sebab hari itu aku sedang ingin menghindar.
Menghindar dari rutinitas di
sekelilingku yang begitu banyak menguras waktu, menyerap begitu banyak energi,
membuatku ingin menepi sementara. Kesedihan kadang-kadang hanya butuh ruang.
Aku memilih menciptkan ruang bagi diriku sendiri untuk berekspresi, sementara
berpergian sendiri adalah satu-satunya cara yang tidak pernah gagal sejauh ini.
Aku sedang tenggelam dalam
alunan musik di headsetku, ketika kemudian seseorang membuat lamunanku buyar begitu
saja ketika kudengar suaranya berkata:
“Mbak maaf ya, saya pindah duduk
di sini. Karena di sana (ia menunjuk kursi yang berjejer vertikal, saling
berhadapan dengan kursi di depannya), saya pusing kalau duduknya menyamping
lihat jalanan. Jadi saya pindah ke sini, biar ndak pusing.” Ujarnya sopan.
Aku tersenyum demi kode etik,
mengangguk mempersilakannya duduk.
Ia adalah seorang laki-laki paruh baya.
Wajahnya tak lagi muda, berpakaian rapi khas pekerja kantoran. Membawa tas
selempang kecil. Dia duduk di sebelahku setelah sebelumnya meminta izin, di
sampingnya lagi, dua kursi di sebelahku telah terisi. Dua orang perempuan yang
mengisi empat baris bangku di belakang, termasuk aku dan laki-laki paruh baya
itu.
“Mbak, tadi naik dari halte
mana?” ia bertanya.
Aku melepas headsetku, mematikan
tombol pemutar musik.
“Dari Malioboro Pak, di depan
benteng Vredeburg."
“Oh, di depan gedung DPRD ya?
Mbak, dulu saya rumahnya di Kepatihan. Di dekat Malioboro,”
“Tadi saya naik dari RS
Hidayatullah, saya parkir di sana. Terus saya naik Transjogja ini,”
Kudengarkan ia bercerita. Tentang
ia yang terlanjur berangkat ke kantor pagi itu tetapi lupa kalau ternyata hari
itu libur, sehingga memutuskan untuk pergi naik TransJogja, mengisi waktu
luangnya.
“Tadi saya update status di WA,
saya foto-foto kan Mbak bisnya. Terus teman-teman kerja saya bilang kok nggak
ajak-ajak, padahal saya cuma sekedar coba-coba naik. Wong saya ini kan orang
Jogja, masak nggak pernah naik Transjogja.” Ia tertawa, menunjukkan foto kursi
Transjogja itu kepadaku.
“Kalau saya pulang, ya nggak ada
siapa-siapa di rumah. Padahal biasanya saya baru pulang kerja jam empat, sekarang
masih jam setengah sembilan. Daripada sepi di rumah Mbak, ”
Sampai di situ, rasa penasaranku
sedikit mulai terjawab. Tentang mengapa seseorang yang usianya tidak muda lagi, masih memilih mengisi waktu luangnya untuk berpergian sendirian menghilangkan
sepi. Tentang mengapa ia tampak begitu antusias menceritakan apa kegiatannya
hari itu kepada seseorang yang bahkan baru ditemuinya di dalam busway kurang
dari setengah jam.
Ya, dia-laki-laki paruh baya
itu-kesepian. Dia mencoba membunuh rasa sepi dengan caranya sendiri. Sama
sepertiku. Bedanya ia menghilangkah rasa sepinya, aku menghilangkan rasa
sedihku.
Sebenarnya aku ingin bertanya tentang keluarganya, tetapi itu bukan privasiku. Aku tidak pernah menyinggung soal keluarga kepada siapa pun kecuali orang tersebut yang menceritakan sendiri tentang kondisiya. Jika ternyata mereka tidak ingin, itu sama sekali bukan hakku untuk tahu.
Sebenarnya aku ingin bertanya tentang keluarganya, tetapi itu bukan privasiku. Aku tidak pernah menyinggung soal keluarga kepada siapa pun kecuali orang tersebut yang menceritakan sendiri tentang kondisiya. Jika ternyata mereka tidak ingin, itu sama sekali bukan hakku untuk tahu.
Sampai akhirnya, ia sendiri yang memulai
ceritanya. Satu hal yang kupercaya dalam sebuah komunikasi: Jika
seseorang mulai mempercayaimu, ia akan dengan sendirinya memulai ceritanya
tanpa harus kaupertanyai.
“Saya dirumah sendiri Mbak,
anak-anak saya semua sudah berkeluarga. Sudah merantau jauh ke luar kota. Yang
satu jadi Bidan, satunya lagi Polisi. Nggak ada siapa-siapa di rumah, istri
saya sudah almarhum 7 tahun lalu.
Di rumah, saya sering kesepian.
Nggak ada yang bisa saya ajak cerita, makanya jalan-jalan begini salah satu
cara supaya saya nggak merasa sepi. Ya seperti naik TransJogja ini, nggak apa-apa
selama itu untuk hal yang positif.”
Di balik kaca matanya yang tebal
aku bisa membaca raut wajahnya yang sedih tetapi sekuat tenaga berusaha
ditutupi. Aku tahu matanya berkaca-kaca.
“Kalau lebaran, putranya pulang
Pak?”
“Iya Mbak, tapi ya
kadang-kadang. Soalnya cutinya susah, apalagi kalau Bidan. Mau bagaimana lagi,
mereka semua sudah berkeluarga sendiri-sendiri. Saya nggak mau menyusahkan,”
“Oiya Mbak, ini cucu saya.”
Ditunjukkannya sebuah foto, dua
anak kecil, satu laki-laki dan satu perempuan, berpose di salah salah satu
tempat wisata.
“Lebaran dua tahun lalu ini
Mbak, mereka ini kalau sudah sama saya lupa sama Mama Papanya. Diajak
orangtuanya malah nggak mau,” kisahnya, lalu tertawa.
“Mbak, saya cerita begini nggak
apa-apa ya? Maaf ya Mbak kalau saya cerita,”
Aku buru-buru menggeleng, “Nggak
apa-apa Pak, saya malah seneng dengerin ceritanya.”
Percakapan itu masih terus
berlanjut, tentang anak-anaknya, pengalamannya saat ia masih muda, cerita
tentang kondisi keluarganya, dan ia yang setiap pagi berbelanja sayur untuk
dimasak seorang diri.
Saat kutanya, “Masak sendiri Pak?”
“Iya Mbak, soalnya kalau beli
kurang sehat,”
Kau bisa bayangkan bagaiamana ia
yang sudah tergolong tua itu harus mengurus
dirinya sendiri setiap hari, tanpa anak dan istri? Kesepian, kebosanan, dan apa
pun itu yang membuatnya bertahan sampai sejauh itu.
Sampai tiba pada saat ia menanayakan apakah aku sudah punya
kekasih atau belum.
“Mbak sudah punya pacar?”
Aku menggeleng, tetapi kulihat
raut wajahnya seperti tidak yakin dengan jawabanku. Tidak apa-apa, aku tidak
berusaha meyakinkan ia untuk percaya.
“Oh ya nggak apa-apa. Tapi saya
juga pernah muda, saya pernah jatuh cinta berkali-kali, jatuh bangun sampai
akhirnya bertemu dan menikah dengan istri saya ini,”
“Saya menikah sama istri saya,
sampai sekarang ia sudah almarhum 7 tahun yang lalu. Tapi saya nggak mau cari
pasangan yang lain lagi. Kalau pun ada, rasanya sudah berbeda. Sudah nggak seperti
perasaan saya ke istri saya yang dulu.”
“Mbak, kalau milih laki-laki
harus benar-benar hati-hati ya. Karena kalau salah, bukan dia yang rugi, tapi
Mbaknya. Mbaknya masih muda, fokus cari ilmu dulu, kerja, bikin orangtua
bangga.”
“Yakin, nanti kalau mbaknya sudah jadi orang berhasil akan dibukakan sendiri jalan jodohnya. Yang penting tawakal tapi tetap harus ikhtiar,.”
Perasaanku seperti diaduk-aduk, detik itu juga.
“Yakin, nanti kalau mbaknya sudah jadi orang berhasil akan dibukakan sendiri jalan jodohnya. Yang penting tawakal tapi tetap harus ikhtiar,.”
Perasaanku seperti diaduk-aduk, detik itu juga.
Lucu juga cara Tuhan menamparku
hari itu. Di saat aku sedang merasa letih dengan hidupku, ada seseorang yang
kuyakin bukan karena sebuah kebetulan berbagi kisah hidupnya. Ketika aku sedang
merasa penat dengan keluargaku, ada seseorang yang begitu menginginkan
kehadiran sebuah keluarga di dalam hidupnya.
Ketika aku merasa tidak ada yang
bisa mengerti apa yang kupikirkan selama ini, ada seseorang yang memberikanku
segala macam nasehat. Sesuatu yang jelas
singkat, tetapi sampai sekarang kalimatnya masih terus berkelabat.
Hari itu aku menemukan satu lagi
cerita, sebuah pelajaran hidup dari seseorang yang kutemui di TransJogja.
Sampai aku turun dari halte semula
aku berangkat, mengucap kalimat
perpisahan. Aku tidak tahu siapa nama Bapak itu. Sebelum turun, aku mengucap
terimakasih berkali-kali untuk apa yang kudengar dari ceritanya.
“Hati-hati ya Mbak!”
Aku tersenyum. Turun dari bis
yang kunaiki. Bebanku lebur.
Yogyakarta, 9 Januari 2019