Bagaimana
bisa aku memikirkanmu siang dan malam?
7x24
jam? Sinting.
Belum
jika diurai dengan satuan waktu secara matematis. Tiga puluh delapan bulan.
Kalikan
empat, kalikan dua belas, kalikan tiga, kalikan enam puluh, kalikan enam puluh
lagi, kalikan enam puluh lagi. Tambahkan dua bulan yang tersisa.
Maka
angka fantastis yang akan kau dapat adalah: 5.515.776.000 milisekon.
Aku
sudah jadi milyader dunia kalau saja itu nominal uang.
***
Dunia
ini kompleks. Keteraturan itu absurd. Perasaan adalah definisi paling tidak rasional.
Sekalipun dijabarkan dalam jutaan alinea, diberi label teori dari A sampai Z.
Sekarang
pukul 03.00 pagi di tempatmu.
Wajahmu
pasti baru saja terbilas air wudhu. Kebiasaanmu, rutinitas yang nyaris alpa
engkau tinggalkan di sepertiga malam. Aku
membayangkan hidung, kening, dan dagumu membenam ditelapak bumi. Memanjatkan
doa-doa yang diterbangkan sampai ke langit. Mengadu dan berceloteh pada Tuhan lewat ritual
yang engkau sebut-sebut sebagai penghambaan paling romantis antara manusia dan
Tuhannya. Sujud.
Sekarang
pukul 03.15 pagi di tempatmu.
Lima belas menit setelah
rutinitasmu usai. Lembar kitab itu kuyakin sedang kaubaca dengan khusuknya,
dengan alunan suara paling metafora. Aku
membayangkan nyaring suaramu bahkan meski sekali pun belum pernah kudengar
kaubernyanyi.
Dan tahukah engkau bahwa dibalik
ketidakpahaman tentang apa yang sebenarnya kau lakukan, aku masih berusaha untuk
mengerti?
Aku mengerti ada sekat-sekat yang
tidak bisa kulanggar dan wajib kupatuhi. Suka atau tidak suka, terpaksa atau
sukarela. Aku berada diantara dua sekat yang sama-sama tidak ingin kupilih.
Meski salah satunya benar, karena sejatinya aku tidak pernah ingin dikekang.
Namun terbebas dari dua himpitan
sekat itu bagiku sama sulitnya dengan menggapai kejora ditengah konstelasi
bintang seluruh jagat raya. Terasa musykil dan terdengar mustahil. Tapi aku
serius soal pengandaian itu. Aku tidak sedang bercanda, hal ini terlalu serius
untuk diberi label main-main.
**
Tiga
minggu lalu Aisyah jatuh sakit. A-i-s-y-a-h. Perempuan bermata teduh itu, aku
curiga ada surga kecil di matanya. Surga yang hanya mampu dimiliki oleh
seseorang dengan rutinitas sama sepertimu. Jujur, aku benci harus mengatakan
ini. Namun sungguh kuakui, aku iri.
Aku iri
dengannya yang tanpa harus melakukan apa-apa bisa membuatmu jatuh cinta.
Sesederhana itu, sesederhana karena dia adalah Asiyah. Tanpa harus menjadi
siapa-siapa, tanpa perlu menjadi sempurna.
“Bagaimana keadaannya?”
Katamu, kondisinya sudah membaik.
Dia hanya butuh istirahat. Terlalu banyak aktivitas membuat kondisi fisiknya
terkuras.
“Jadi, sebenarnya dia sakit apa?”
“Dokter bilang anemia, tapi dia sudah
diperbolehkan pulang hari ini, tidak perlu rawat inap. Kamu tidak perlu
khawatir.”
Tidak perlu khawatir katamu?
Padahal raut cemasmu saat membawanya ke rumah sakit
karena dia pingsan di tengah acara kampus tadi siang, persis seolah dia sedang mengidap
kanker stadium akhir.
Aku cuma mengangguk dan tersenyum
getir.
Hebat. Kekuatan magis apa yang
bisa mempengaruhi seorang laki-laki super idealis sepertimu-yang pantang
melanggar satu kewajibannya sekali pun-tapi siang ini dengan ringannya meninggalkan
acara yang berbulan-bulan dia rancang demi mengantarkan seseorang ke rumah
sakit meski sebenarnya itu bisa diwakilkan?
Asiyah, kalau aku diberi
kesempatan besar untuk bertanya padamu meski cuma sekali.
Bagaimana rasanya dikhawatirkan
oleh seseorang yang benar kaucintai?
***
“Jangan lupa berdoa untuk
kesembuhannya,” senyummu ditengah terik matahari pukul dua siang. Tiga puluh
menit sebelum akhirnya aku kembali ke acara kampus. Melanjutkan tugasku sebagai
pangurus.
“Doa apa yang harus kubaca?”
“Apa pun, yang kaubisa.”
“Apa kamu juga akan mendokannya?”
aku bertanya, setengah menggoda. Tertawa kecil.
“Tentu saja. Ada pahala berlipat
ganda bagi mereka yang mendoakan saudaranya yang sedang sakit.”
“Karena itu?”
“Apanya?”
“Karena itu kamu berdoa untuk
kesembuhannya?”
Kamu tertawa dan menggeleng, “aku
tetap akan mendoakannya meskipun tidak mendapat apa-apa.”
“Jadi begitu ya?”
Dahimu berkerut, memandangiku
dengan tanda tanya yang berlarut-larut.
“Kenapa?”
Aku menggeleng. “jadi, agar juga bisa
kaudoakan, apa aku harus sakit dulu?”
Kali ini kamu benar-benar
tertawa. Menggeleng dengan ekspresi “apa-apaan kamu ini” yang secara terang-terangan
kaulempar tepat di bola mataku.
Aku mengibaskan tangan, mencoba
bergurau. “Lupakan. Itu cuma bualan. Oh ya, soal jalannya seminar nanti, kamu
tidak perlu khawatir. Aku akan bilang bahwa Kapel acara kita sedang terlibat
urusan penting. Tugasmu aku ambil alih, biar Asiyah nanti aku cari siapa yang
mau menggantikan. Aku pulang duluan,”
Kamu tersenyum dan mengangguk,
mengucapkan terimakasih sebelum aku pergi.
***
Sekarang pukul 03.00 pagi untuk
yang ke sekian kalinya di tempatmu.
Rutinitasmu masih tetap sama.
Namun kini aku mengerti keteraturan
yang kaulakukan tidak akan pernah berjalan sama lagi.
Waktu berjalan dan semua
peristiwa bergerak teratur mengikuti alur.
Kamu , tidak terkecuali.
A-i-s-y-a-h. Kubayangkan saat ini dia tengah berada di
belakang shafmu. Membaca kata ‘aamiin’ di penghujung alfatihah yang kaubaca.
Ah! Betapa beruntungnya.
***
Aku tahu sebongkah perasaan dan
definisi ingin memiliki itu berbeda arti. Aku tidak lagi ingin melanggar batas
kewarasanku sendiri. Sehingga engkau tidak perlu bilang bahwa aku ini waras, sebab
aku mewaraskan diriku sendiri dengan tidak menggilakan kamu. Aku menyukaimu
tanpa syarat, tanpa istilah yang dibuat-buat. Bahkan tanpa peduli beda ruang
dan hal tabu yang bernama keyakinan.
***
Pada 174.182.4000
milisekon aku menyerah.
Tahu
kenapa? Karena terlambat kusadari bahwa hanya di mata Aisyah lah engkau bisa
menemukan surga.
Sebab
aku bukan dia yang bisa mengikuti gerak sujudmu dari belakang.
Aku hanya bisa berdoa untukmu
dengan caraku sendiri, di tempat yang berbeda dengan ruang ibadahmu. Rasanya, cinta memang tidak pernah sesederhana
itu.
16/04/16
2:05 pagi
SIF