Katamu,
hidup cuma peralihan, ya Han? Antara sedih ke senang, senang ke sedih, tangis
ke tawa, tawa ke tangis, begitu seterusnya. Siklus yang terjadi berulang-ulang.
Tidak ada waktu yang kekal, benar kata
Sapardi dulu. Yang fana adalah waktu, kita abadi.
Kamu
menyukai kota yang asing, sebuah tempat dimana tidak ada yang mengenalimu seorang
pun. Karena apa yang diharapkan dari dikenal banyak orang? Apa yang perlu
dicari dari validisi? Karena bukan kah pada akhirnya setiap orang harus belajar
hidup sendiri-sendiri?
Di
bandara pagi itu, kujumpai kamu dengan senyum paling merekah sepanjang aku
mengingatnya. Dengan tas ransel warna hijau army di punggungmu, topi baseball
broken white di kepalamu, dan convers hitam yang warnanya sudah memudar.
Tentu saja, dengan tali sepatu yang kamu urai seenaknya.
“Setelah
ini, ke kota mana lagi?” Aku bertanya, menyambutmu dengan senyum tak kalah
lebar.
Dan
kamu menggeleng, mengedikkan bahumu, “tidak tahu, biar jadi kejutan.”
“Mau
sarapan apa?”
Jawabanmu
mengantarkan kita sekarang di sini, di salah satu kedai nasi uduk favoritemu.
Yang ramai benar di datangi pembeli sejak pukul lima pagi, kita datang dua jam
setelah kedai itu dibuka, tentu saja
setelah tiga puluh menit perjalanan meninggalkan bandara, dengan aku yang fokus
menyetir, kamu duduk di sebelah kemudiku. Menceritakan perjalanan yang kamu
lalui selama satu pekan terakhir.
“Bu,
nasi uduknya dua, ya. Yang satu porsinya setengah, tanpa kerupuk. Sama es
tehnya dua,”
Seperti
biasa, kamu yang dengan lantang memesan, aku memilih bangku paling ujung. Di
dekat jalan raya, yang dari sana kamu bisa melihat kendaraan berlalu lalang,
bonus hamparan sawah di seberangnya.
“Gimana,
capek?”
Kamu
duduk di depanku, “Nggak ada hal yang bikin capek kalau kita senang
melakukanya,”
Aku
tersenyum.
“Boleh
kutanya sesuatu?” tanyamu.
“Boleh,
apa?”
“Kalau
misalnya ini bukan hari minggu, hari liburmu, apakah kamu punya alasan untuk
nggak menjemputku di bandara?”
Aku
tertawa, “Apa-apan kamu ini,”
“Kan
aku cuma tanya, Nat.”
“Mana aku punya alasan buat nggak menjemputmu?
Pernah sekali, pun?”
Kamu
menggeleng, “Kenapa nggak pernah absen?”
“Karena
aku senang melakukannya,”
“Walaupun
kamu sedang banyak pekerjaan?”
“Lalu
kenapa?”
“Memangnya
enggak capek?”
“Nggak
ada hal yang bikin capek kalau kita senang melakukanya. Itu katamu, lupa?”
Kini,
giliran kamu yang tertawa. Renyah. Dan aku menyukainya. Selalu.
Dua
porsi nasi uduk dan es teh itu terhidang di meja kita. Porsimu setengah, tanpa
kerupuk. Kamu menyantapnya setelah sebelumnya menepuk punggung tanganku, ”doa
dulu, ya?”
“Hana,”
“Ya?”
“Kalau
bukan aku yang menjemputmu pagi ini di bandara, kamu mau minta dijemput siapa?”
“Sendiri,
kenapa harus minta dijemput?”
“Tapi
kenapa mau dijemput aku?”
Kamu
berhenti mengunyah, menatapku dengan tatapan seolah ingin mencari tahu
jawabanmu dari sana. Tapi sepertinya gagal, ya? Karena setelah itu kamu cuma menggeleng.
Aku
tertawa, lucu sekali. Kenapa aku harus menanyakan sesuatu pada seseorang
yang bahkan tidak bisa menjawab
pertanyaan itu untuk dirinya sendiri? Untuk perasaannya?
“Nata,”
“Ya?”
“Kenapa
kamu di sini?”
“Maksudnya?
Kan daritadi aku sama kamu,”
“Maksudku,
kenapa yang duduk di depanku sekarang ini dalah kamu. Kenapa bukan orang lain?”
“Karena
cuma aku orang yang kamu persilakan duduk,”
“Ya
sudah, sekarang kamu tahu jawabannya.”
Kamu
lebih senang membuat aku menebak-nebak, Han. Memintaku menjadi bandara,
tempatmu datang dan pulang, untuk kemudian pergi lagi, ke suatu tempat yang
tidak bisa aku prediksi. Aku adalah bandara yang mengantarmu sebelum pesawat-pesawat
itu membawamu terbang tinggi. Juga tempat yang kamu pijaki pertama kali, ketika
pesawat itu membawamu kembali. Maaf, biar kuralat. Kamu tidak pernah
memintanya, aku sendiri yang melakukan itu tanpa terpaksa.
Juga
katamu, kita semua belajar dari hal-hal yang kita benci. Sesuatu yang kita
tidak ingin terlibat di dalamnya, tidak ingin menyentuh rasa sakitnya, tidak
ingin berkompromi dengan konsekuensi yang akhirnya kita lalui. Kita selalu
belajar dari hal-hal yang tidak kita suka, sesuatu yang justru membawa kita
terlibat, merasakan, dan membaur bersama semua hal yang kita benci itu. Han,
apakah pelajaran untukmu belum selesai? Sampai hari itu datang, sampai waktu itu
tiba, mungkin aku tetap akan menjadi bandara. Menunggu hingga kamu selesai, dan
kamu telah berhasil berdamai.