Sabtu, 18 Juli 2015

Begini?

Jadi, ini tentang kisah masa lalu yang menyebalkan. Tentang seseorang. Yang dulu dengannya, sering kuhabiskan waktu untuk berbuat onar dan berkelahi. Yang sering kutendang dan kupukuli. Dan masih banyak lagi.

Ini tentang nostalgia pada masa putih merah yang penuh dengan keluguan dan kepolosan, tanpa bahasan cinta atau politik yang bikin rumit seperti saat ini.

Aku tidak paham cara kerja semesta seperti apa. Tapi aku percaya konspirasi itu ada. Tuhan mempertemukanmu dengan seseorang, bukan tanpa alasan. Pasti ada sesuatu di dalamnya, tanpa bisa kita duga, tanpa bisa kita mengerti alurnya.

Jadi malam ini, semuanya bermula.

Bagiamana rasanya, ketika seseorang yang dulunya kaukira membencimu, yang kaupikir mengabaikanmu, ternyata diam-diam menyimpan rasa padamu?

Mustahil. Maksudku, mana mungkin? Bagi sebagian besar laki-laki yang berurusan denganku, mereka bilang aku kasar dan menyebalkan. Sarkatis dan mirip preman. Aku tertawa. Karena kalau mereka bilang aku anggun, baik hati, dan mirip puteri keraton justru akan kutentang habis-habisan.

Penilaian ini juga berlaku bagi seseorang. Tidak perlu kusebutkan namanya. Jadi, kutulis 'dia' saja.

Dia bilang, "Siapa laki-laki yang kamu suka?"
Aku melongo, untuk alasan apa pun, bagiku ditanya seperti itu adalah sebuah bentuk penyiksaan.
"Lagi nggak suka siapa-siapa."
"Yakin?"
Aku mengangguk. Aku bahkan nggak tau sekarang aku suka sama siapa.
"Kenapa tanya-tanya?"
"Nggak apa-apa, penasaran aja."
Aku diam saja, "Kamu sendiri? Kamu belum cerita nama orang yang kamu suka."
Dia memintaku menebak, kusebut semua nama anak perempuan di kelasku waktu kelas enam. Karena dia bilang, dia suka dengan seorang teman kami sejak 6 tahun lalu.
Tapi dia terus saja menggeleng. Aku bingung.
"Masih ada yang belum kamu sebut."
Sebenarnya, aku ingin menyebut namaku. Bilang bahwa mungkin saja ada keajaiban besar yang membuat seorang musuh menjadi kawan. Tapi kuurungkan. Mana berani? Mustahil. Kami bermusuhan sejak dulu, tingkahku padanya tidak jauh dari kata menyebalkan. Jadi, itu tidak mungkin aku.

Kami bercerita banyak hal. Meski sebenarnya, lebih banyak dia yang bertanya dan hanya kujawab seadanya. Tentang kisah cintanya yang demi Tuhan, ironis sekali itu. Tentang pandangannya pada beberapa hal yang kami jadikan topik pembicaraan. Kecuali, tentang  keluarganya, sesuatu yang juga kutolak untuk menceritakannya pada siapa pun-jika aku ditanya. Aku paham, bagiku mendengar kata 'keluarga' adalah sesuatu yang sensitif, yang tidak mau kubahas terlalu panjang lebar, dan malas kubicarakan.

Jadi, kudengarkan saja dia bercerita. Meski bisa kutebak dari gaya bahasa dan tatapan matanya, dia sedang menyembunyikan sesuatu. Entah apa.

"Kamu katanya mau doain aku supaya aku diterima sama orang yang kusuka?"
Aku nyengir, "Iyalah, semoga diterima Bro!"
"Kalau aku ditolak, berani taruhan apa? Kamu jadi pacarku ya?"
Aku tertawa. Masa bodo. Peduli apa. Semua kalimatnya bagiku cuma guyon semata. Dia humoris dan ada bakat idiot, jadi kuanggap itu cuma lawakan saja.

"Emang kamu suka sama siapa? Aku kenal?"
"Pasti kenal."
Aku sibuk berpikir dan gagal lagi. Jadi kubiarkan dia menang. Terserah saja mau suka sama siapa, yang penting dia masih normal dan tidak gila.

Di perjalanan pulang. Sesuatu yang mengejutkan terjadi. Dia akhirnya, bilang tanpa kuminta. Sesuatu yang sebelumnya tidak kuduga-duga. Aku lupa bagimana harus mengatakannya lewat kata-kata. Semacam ungkapan, "aku suka kamu" dalam versi yang berbeda.

Aku spontan tertawa, antara heran dan tidak percaya. "Serius, aku?"
Jadi, fakta bahwa mungkin saja kamu bisa jatuh cinta dengan seseorang yang kamu sebut rival, bukan cuma mitos belaka.
"Aku nyebelin dan sering mukulin, gimana kamu bisa suka?"
Katanya, dia bisa suka dengan siapa pun tanpa alasan apa pun. Kalau suka, mau siapa pun orangnya, kayak gimana pun dia, tetep suka.

Aku melongo. Sama sekali tidak menyangka. Tapi, dia bilang aku rusuh. Yang bisa datang lalu pergi lagi. Aku langsung diam. Siapa tahu dia benar.

"Jadi gimana?"

Aku bingung harus menjawab bagaimana.

Dia orang baik, kalau boleh jujur. Setidaknya, cukup tidak keberatan dan senang hati kupukuli untuk melampiaskan emosi. Tapi di sisi lain, menjadi apa adanya di depannya terasa lebih menyenangkan. Aku lebih suka mendengarkan ceritanya, menceritakan hal-hal konyol, menendang kaki atau lengannya tanpa perasaan dikekang.

Aku ingin meminjam istilah Dilan untuk Milea. "Milea, kamu cantik. Tapi aku belum mencintaimu. Enggak tahu kalau nanti sore."

Jadi sekarang untuk situasi yang berbeda, aku ingin bilang, "Halo, kamu baik. Tapi aku belum bisa kalau sekarang  Enggak tahu kalau besok kapan-kapan."

Begitu, ya?

Terimakasih untuk secangkir mocca coffeenya malam ini.

18/07/2015
Langit Senja
Yogyakarta

0 komentar:

 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger