Kau masih ingat malam itu? Aku sedang duduk di salah satu
gerbong kereta, menunggu keberangkatan kereta yang akan membawaku menuju
Bandung. Kereta itu molor, menyisakan selang kebarangkatan beberapa menit lebih lama
dari jadwal seharusnya.
Saat itu, Malang sedang
dirundung cuaca dingin dan langit berwarna mendung. Kupikir sebantar lagi hujan
akan turun. Itu berarti aku akan menikmati perjalanan kali ini dengan suasana
sedikit melankolis. Kuputar lagu-lagu The Beatles melalui aplikasi Joox di ponselku
untuk mendukung suasana. Memasang headset di kedua telinga. Sambil menghitung
mundur dalam hati, kapan tepatnya kereta itu akan melaju.
Lima menit sebelum akhirnya
masinis kereta menekan tuas kemudinya, seorang perempuan tiba-tiba berlari
tergopoh-gopoh dari pintu gerbong dengan tas carrier dipunggungnya yang terlihat
cukup bervolume. Waktu itu, aku tidak menyadarinya karena tiba-tiba saja ia
sudah berdiri di depan lorong kursi tempatku duduk.
“Kursi nomer 16E. Boleh saya
duduk?”
Serta merta, demi bisa mendengar
jelas ucapannya aku melepas headsetku.
“Boleh saya duduk?” ulangnya
lagi.
Baru kemudian aku mengerti
maksudnya, berdiri keluar dari tempat dudukku. Memberi ruang padanya agar ia
bisa duduk di kursi dekat jendela. Nomor kursiku 17E.
“Maaf,” ia terlihat kerepotan
mengatur letak carriernya. Meletakkannya di bawah kursi, hati-hati agar tidak
mengenai kakiku.
“Boleh saya bantu angakat
carriernya di atas? Mungkin akan lebih nyaman, kalau kamu nggak keberatan.” Aku
menawarkan diri.
Ia mengangguk. Kuangkat tas
carriernya ke atas tempat duduk kami.
“Nah sudah,” aku menatapnya
sekilas sambil tersenyum.
Ia mengangguk, “Terimakasih.”
Kereta itu kelas ekonomi. Ada
satu bangku lagi di depanku. Berhadap-hadapan, tapi tidak berpenghuni. Mungkin akan
diisi oleh penumpang dari stasiun berikutnya.
Aku berniat melihat ke arah luar
jendela, ketika tanpa sadar fokus mataku justru tertuju pada perempuan di
sebelahku. Baru kusadari dari jarak sedekat ini, ternyata dia tidak
seberantakan yang kukira. Tadi saat baru masuk ke dalam kereta, aku ingat
rambutnya masih acak-acakan. Kini telah berubah menjadi rambut ekor kuda
sebahu. Kapan ia mengikatnya? Entahlah aku tidak terlalu memperhatikan.
Ia memakai atasan baju kemeja
kotak berwarna biru tua. Tampak kebesaran dipakai pada badannya yang terlihat kurus.
Di pergelangan tangannya, berjejer rapi gelang berwarna-warni. Matanya
dibingkai kacamata berframe persegi. Wajahnya, ah! Aku tidak bisa lebih detail
mendeskribsikannya sebab ia lebih asik memalingkan wajahnya ke arah jendela.
Aku ingin mengajaknya ngobrol, sekedar
basa-basi. Kupikir, itu bisa menghilangkan sedikit kejenuhan di kereta. Hei,
empat belas jam di kereta tanpa ngobrol sepatah kata pun dengan orang yang
duduk di sebelahmu terdengar ganjil sekali bukan?”
“Mau ke Bandung juga?” aku
memberanikan diri bertanya.
Ia sedikit terperanjat mendengar
suaraku. Waktu itu, aku jadi sadar dia sedang melamun. Entah memikirkan apa.
“Iya, saya mau ke Bandung.”
Demi kode etik, dia menoleh ke
arahku. Tepat saat itu, saat ia menoleh menatapku, aku jadi menyadari sesuatu.
Bukan, bukan karena perempuan di sebelahku ini ternyata berparas menarik. Tapi
dengan jelas aku bisa melihat matanya yang sendu di balik kacamata itu.
“Kamu menangis?”
Masih ada sisa bulir air mata di
kelopak mata bawahnya, meski aku tahu sebelum menoleh ke arahku ia sudah
berusaha menghapusnya. Tapi meski terhapus semuanya, aku tetap bisa mengetahui
ia baru saja menangis dari kantung matanya yang sembab.
“Oh enggak, saya cuma agak
sedikit pilek. Jadi mata saya berair.”
Aku bukan anak kecil, aku tahu
dia berbohong.
“Ke Bandung mau ke kemana?” ia
buru-buru mengalihkan topik, ganti bertanya
“Kamu menangis?” aku mengabaikan
pertanyaannya. Bertanya lagi.
Dia menggeleng. Baiklah, ini
agak sedikit lebih rumit. Jadi aku akan berhenti bertanya.
“Namaku Rey,” aku mengulurkan
tanganku.
“Dea,” ia menyalamiku.
“Dea?"
“Deadera.”
Langit mulai gelap saat itu, gerimis turun dan hujan mulai mengguyur
kota Malang. Perjalanan ini masih terlalu panjang. Perempuan bernama Dea itu
tidak tahu bahwa tiga puluh menit ke
belakang aku sibuk memikirkan topik obrolan supaya ia berhenti memalingkan muka
ke arah jendela. Membuyarkan fokus lamunannya agar ia tidak punya kesempatan lagi
untuk menangis. Ini terdengar konyol dan agak sedikit gila, karena kenapa aku
harus mempedulikan seseorang yang baru menghabiskan waktunya kurang dari satu
jam bersamaku di kereta?
Ayolah, aku hanya tidak suka
melihat perempuan menangis. Apalagi, jelas-jelas dia duduk di sebelahku. Meski
aku tidak mengenal dia sebelumnya, tapi aku seperti bisa merasakan ada beban
berat yang sedang bertumpu dipundaknya. Meski aku tidak tahu apa.
“Kamu kuliah di Malang juga?”
“Suka makan ayam nelongso?”
“Kalau STMJ Ijen?"
“Pernah nyoba mi soden di depan
Selecta nggak?”
“Kapan-kapan kamu harus ke
Brewok, kue pancong dan kopi kapitennya juara!"
“Ada nasi goreng padang enak di Sumber Sari. Kamu pernah coba?"
“Kamu suka pergi ke Batu? Pernah
naik paralayang belum?”
Aku menanyakan banyak hal
padanya, dan payah sekali karena aku cuma bisa bertanya hal-hal sepele yang
bahkan bisa ditanyakan oleh anak SD. Dia hanya menanggapi pertanyaanku
seperlunya. Sesekali cuma menggeleng dan mengangguk. Aku tidak peduli
meski aku tidak pandai membuat lelucon, aku hanya ingin menghiburnya sebisaku.
Ia tersenyum sesaat, menatapku
agak sedikit lama.
"Terimakasih,”
Sebentar, aku tidak salah dengar kan?
“Terimakasih karena aku tahu kamu
sedang berusaha menghiburku. Tapi sepertinya, kamu nggak perlu repot-repot. Aku
nggak semenyedihkan yang kamu lihat,” ia tertawa pelan.
Aku diam. Siapa pun yang melihat
sendu matanya, pasti akan melakukan hal yang sama.
“Bagaimana rasanya pulang?,” ia tiba-tiba bertanya.
Dahiku berkeryit, tidak mengerti
maksud pertanyaannya.
“Maksudku bagaimana perasaanmu
saat kamu pulang? Apa kamu senang?”
Tentu saja aku senang. Pulang
adalah sebaik-baik cara untuk menghilangkan segala kalut dan resah. Tempat
berlindung paling nyaman dari kerasnya dunia yang kadang membuatmu merasa
terlalu kecil di luar sana.
“Jelaskan padaku, aku cuma ingin
tahu bagaimana rasanya.”
“Seperti, waktu kamu dapat
hadiah ulang tahun setelah menunggu satu tahun di ulang tahunmu berikutnya. Kamu megerti kan?”
Dea menggeleng, “Aku nggak bisa merasakan perasaan semacam
itu.”
"Bahkan meski sekarang aku sedang berada di kereta, aku
tetap merasa tubuhku bukan di sini.”
“Apa maksudnya?”
Dia menggeleng, “Bukan apa-apa, kamu nggak ngantuk?”
Aku menelan ludah, mengira dia akan bercerita lebih banyak, ternyata dugaanku salah. Ia lagi-lagi justru mengalihkan topik pembicaraan ke lain hal.
“Kamu mau tidur? Maaf sudah membuatmu
mengobrol,” Aku merasa bersalah. Wajahnya terlihat lelah sekali.
“Nggak apa-apa,” ujarnya sambil
tersenyum.
“Saya tidur dulu ya,”
Ia kemudian menyenderkan
kepalanya di samping jendela. Perlahan memejamkan matanya. Aku tidak tahu dia
tidur sungguhan atau hanya sedang berusaha mengindari percakapan denganku. Tapi
setidaknya itu lebih baik daripada aku harus melihatnya terus-menerus menatap
ke luar jendela, sambil sesekali menyeka air matanya. Diam-diam, aku mengamatinya
saat ia sedang tertidur. Damai dan meneduhkan. Padahal, dari sedu sedan matanya, hatinya sedang
berantakan. Belum pernah aku merasa sekacau ini hanya karena memandang cara
tidur seseorang. Ya Tuhan, kenapa dadaku tiba-tiba berdebaran?
17/08/2018, 3:20
Malang, 18 derajat