Perempuan itu duduk takzim menatap rinai
hujan yang sedari tadi membanjiri kota ini Pandangannya menerawang pada
masa lalu. Ketika segala hal yang berbau materi sudah tak didapatinya
lagi. Dan segala logika sudah tak bisa dilogikakan dengan cara apa pun.
***
Dia adalah perempuan yang di ambang nasib.
Dunia memberikan banyak pilihan kepadanya untuk mengarungi kehidupan.
Tapi nyatanya, masa lalu yang kelam, memaksanya menjadi seseorang yang
bahkan tak pernah diinginkan. Mereka sebut dia jalang.
“Kau bekerja apa di kota Ratih?” serak suara ibunya bertanya.
Sedikit bingung dia menjawab. “Eh, Ratih menjadi pelayan restaurant Bu,”
Ibunya tersenyum, mengusap lembut bahunya, “Tak mengapa Nak, asalkan halal, bekerja apa saja tak jadi masalah.”
Dia hanya diam, bisu, kelu. Selama ini, dan entah sampai kapan akan usai, kebohongan akan terus menghantuinya.
***
Dia menatap lurus pepohonan. Matanya mulai sembab. Hujan masih deras mengguyur kota ini. Cardigan di tubuhnya ia rapatkan. Ia masih mengais sisa masa lalu.
***
Hari itu, ketika persediaan beras di rumahnya menipis dan ibunya jatuh sakit.
“Bu, Ratih harus pergi lagi ke kota. Cari uang buat makan kita. Buat pengobatan Ibu juga, boleh Bu?”
“Asalkan halal, pergilah,”
Dia menangis, terus terbayang kalimat
ibunya yang beliau ucapkan sebelum ia pergi. Dia berkali-kali menahan
sesak, apa yang harus dia lakukan? Saat bapaknya memutuskan pergi dengan
wanita lain, kehidupan keluarganya semakin terpuruk. Dia yang
menggantikan posisi bapaknya, menjadi kepala keluarga.
Dia melangkahkan kakinya menuju tempat yang ia gunakan untuk mencari
makan. Tekadnya sudah bulat, dia harus kembali lagi ke kota ini. Atau
keluarganya tidak makan dan ibunya terus sakit-sakitan
.
***
Perempuan itu, menatap sayup pada riak
genangan air hujan di jalanan. Terus memutar memorinya ke masa lalu.
Kali ini wajahnya benar-benar sendu.
***
Saat itu, saat ia mulai mengerjakan segala
sesuatunya, tiba-tiba kepalanya terasa berat. Dia menggigil, demam. Pria
yang dilayaninya membentaknya kasar, “Dasar perempuan tak tahu
diuntung! aku sudah bayar kau mahal-mahal. Kenapa servicemu mengecewakan? Hah!” tamparannya mendarat ke pipi kanan Ratih, ia merintih.
“Maaf Tuan, saya sedang sakit,” air matanya mulai bercucuran.
“Masa bodoh soal sakit kau! Sekarang pergi!” pria itu menarik kasar
tangan Ratih ke luar kamar.Ratih berontak, ia masih memperjuangkan
bayarannya.
“Tuan, ibuku sedang sakit keras. Aku butuh uang, Tuan boleh membayarku
berapa pun yang Tuan mau, aslkan hari ini, aku bisa membawa ibuku
berobat ke rumah sakit,” wajahnya memelas. Pria itu tersenyum sinis.
Menatapnya tajam, “Dasar wanita bodoh! Wanita jalang macam kau tak
pantas dikasihani. Pergi kau dari sini!”
Ratih terisak, perlahan kakinya melangkah
pergi, tanpa alas kaki. Malam itu hujan deras. Dia terus melangkah
diantara celah hujan. Menangis sejadinya. Kalau dia tak dapat
penghasilan hari ini, kedua adik dan ibunya di rumah, mau makan apa?
Kalau dia tak bawa uang ke rumah hari ini, bagaimana dengan ibunya yang
sudah mulai renta dan sakit-sakitan? Bagimana dia harus membawa berobat
ibunya ke rumah sakit?
Dia terus meratapi nasib, menyalahkan
Tuhan. Tunggu! Pantaskah Tuhan disalahkan? Tidak, dia sendiri yang
salah, bukankah Tuhan telah memberi beribu pilihan kebaikan untuknya?
Bukankah dia sendiri yang memilih jalan hidupnya menjadi seperti ini?
Lihatlah, betapa bodohnya ketika bahkan ia meyadari kesalahannya
sendiri.
***
Perempuan itu menghela napas, bayangan
tentang masa lalunya mulai menghilang. Tidak, belum hilang sepenuhnya,
ia masih mengais remah-remah yang tersisa. Tapi hujan di luar sana masih
menari, telinganya masih menangkap riuh lembut resonansi.
***
Ratih masih terus berjalan, demamnya
semakin menjadi. Dia menggigil kerena demam tinggi ditambah pula hujan
deras, dia semakin menggigil. Ratih hanya memakai baju tipis, tak cukup
kebal menahan guyuran air hujan.
Ketika kakinya mulai lemas, dan tubuhnya sudah tak kuat lagi untuk
berjalan. Ratih kebingungan, dimana ia harus mencari tempat untuk
berteduh? Dia berkali-kali meminta izin untuk berteduh di sebuah warung
atau tenda-tenda makan di sepanjang jalan. Tapi mereka mengucilkan, tak
memberi izin. Mereka kira dia gila. Lihatlah, dengan kaki telanjang dan
baju berantakan seperti itu, siapa yang akan mengira dia waras?
Dia terus berjalan, kakinya bergetar hebat. Di persimpangan, dia
berhenti. Duduk di tepi jalan, menggigil sendirian. Lima menit
berselang, seseorang membuyarkan lamunannya, tangannya menggenggam
gagang payung. Menatap Ratih lamat, lantas tersenyum “Maaf, Anda sedang
apa di sini?”
Mulut Ratih susah bergerak, dia terus menggigil, hingga bibirnya kelu
sulit mengucapkan sesuatu. “d-i-ng-in,” patah-patah Ratih mengucapkan
kalimatnya.
Pria tampan itu mengeryitkan dahi, melindungi tubuh Ratih dengan payungnya. “Payung ini bisa sedikit membantumu, masih dingin?”
Dengan cepat Ratih mengangguk, pria itu tersenyum, lantas buru-buru melepas jaketnya. “Pakailah, kamu lebih butuh,”
Dengan tangan gemetaran, ia meraih jeket
dari tangan pria itu. Lantas memakainya, merapatkannya ke tubuhnya.
Setidaknya, rasa dinginnya mulai berkurang.
“Terimakasih, Anda siapa?” mulut Ratih mulai bisa digerakkan, walaupun masih gemetaran.
“Saya Bagaskara, tadinya saya mau sholat di masjid dekat persimpangan
ini, kebetulan saya melihat Anda disini, sepertinya Anda butuh bantuan,
jadi saya kemari.” Ratih masih menatap mata pria itu, sungguh
menenangkan. Seumur hidupnya, baru kali ini ia melihat tatapan seteduh
itu, syahdu sekali.
Tatapannya sungguh berbeda dengan pria-pria
yang selama ini menatapnya dengan penuh nafsu. Tatapan pria ini sungguh
berbeda, tatapannya ramah dan bersahabat, Ratih mengaguminya.
“Oh, terimakasih, mungkin kalau Anda tidak membantu saya, saya sudah membeku sejak tadi.”
“Hanya bantuan sederhana,” pria itu tersenyum, “maaf, nama Anda?”
“Ratih,”
“Kalau boleh tahu, kenapa Anda bisa disini?”
Ratih menatap kosong, tak menjawab.Pria itu mengerti, dia tak ingin bertanya lebih lanjut.
“Anda muslim?”
Ratih mengangguk, “Kalau tidak keberatan, mari ikut saya ke masjid di
seberang sana. Anda pasti juga belum sholat Maghrib kan? Sekalian nanti
kita bisa berteduh disana.”
Ratih beranjak berdiri, mengikuti langkah
kaki pria itu. Mereka berjalan dengan berlindung pada satu payung yang
sama. Pria itu yang memegangi gagang payungnya.
Di masjid, mereka berdua shalat berjamaah.
Pria itu yang mengimami. Ratih menangis dalam sujud, mengingat semua
kisah kelamnya. Dia merasa kotor, merasa dirinya benar-benar hina. Dia
memohon ampun, dia ingin mengakhiri semuanya, tapi bisakah? Bisakah
makhluk kotor sepertinya meminta ampun pada Tuhan?
Lalu, bagaimana bila pria itu tahu segalanya? Bagaimana kalau dia tahu
siapa dirinya yag sebenarnya? Bagaimana sikapnya nanti ketika dia tahu
bahwa perempuan yang ditolongnya adalah perempuan jalang? Bukankah
begitu menatap syahdu matanya, Ratih mengaguminya?
***
Perempuan itu, sekarang menyunggingkan senyum simpul. Matanya
berbinar-binar. Hujan deras mulai berubah menjadi gerimis kecil. Hujan
hampir reda. Seseorang keluar dari balik pintu, kedua tangannya membawa
dua gelas teh hangat, tersenyum. Menghampirinya, “Sayang, kamu pasti
kedinginan, segelas teh hangat bisa menghangatkan tubuhmu, minumlah.”
Perempuan itu tersenyum, meraih segelas teh di tangan pria itu. “Terimakasih sayang,”
Mereka berdua duduk takzim menikmati sisa rintik langit. Di teras rumah
mewah mereka. Lalu hujan benar-benar menghilang, mereka berdua
melangkah, memasuki rumah.
Semua kisah kelam perempuan itu, benar-benar sudah usai.
***
“Tuhan tak pernah membencimu,
bukankah persepsimu sendiri yang membuatmu percaya bahwa Tuhan
membencimu? Percayalah, seburuk apa pun kau, sebesar apa pun dosa yang
pernah kau lakukan, Tuhan akan memaafkanmu. Asalkan dengan penyesalan
yang tulus, dan kau berjanji tak akan mengulanginya lagi, itu sudah
lebih dari cukup untuk membuat Tuhan percaya bahwa kau pantas dimaafkan,
percayalah,” aku masih mengingat kalimat Bagaskara yang
diucapkannya di masjid kala itu, saat ia mendengar semua pengakuanku.
Aku sungguh tak percaya mendengar kalimatnya, saat itu mataku
berkaca-kaca.
“Sekarang, jadilah perempuan yang lebih
baik Ratih. Dan jika kau tak berkeberatan, maukah kau jadi istriku. ?”
Aku benar-benar tak percaya dengan penawarannya. Tentu saja, aku tak
kuasa menolaknya. Bagaimana mungkin aku menolak pria sebaik ini? Pria
pertama yang tatapannya mampu membuat aku terkesima sejak pertama kali
aku melihatnya?
Dia sungguh orang yang baik, dia ikhlas menikahiku tanpa memandang siapa aku dimasa lalu.
Dia sungguh orang yang baik, merengkuhku saat kehidupan kami sedang
terpuruk. Menjanjikan kehidupan dan masa depan yang lebih baik untukku
dan keluargaku.
Dia sungguh orang yang baik, amat sangat baik. Dia yang mengenalkanku
lebih dekat dengan Tuhan, membuat seluruh sisa hidupku menjadi
mengesankan.
Aku adalah wanitanya, yang ditemukannya di persimpangan.
Aku adalah wanitanya yang beruntung karena telah memilikinya, terimakasih Tuhan.
***
End
sedikit berkisah tentang kehidupan nyata di luar sana
semoga mampu mengambil hikmahnya
Salam
Langit Senja :’)
Sudah Membaca? Terimakasih :)