Sebelumnya,
Yogyakarta tak pernah sedingin ini. Suhu udara dengan angka mencapai 16 derajat
celcius. Menggigilkan tubuh mungil seorang
gadis yang sedang duduk di salah satu kursi kedai kopi. Seseorang dengan
sweater abu-abu membungkus tubuhnya, yang matanya dibingkai dengan kacamata
berframe hitam,yang di lehernya terselempang syal sewarna senada, membuat
rambutnya yang panjang terurai terlihat semakin surealis.
Dan,
ia terlihat manis.
Dan, nama gadis
itu Kanatya. Ya, namanya Kanatya.
Tangannya sesekali saling bergesekan untuk
meredakan hawa dingin. Bibirnya yang mungil sesekali merapalkan sesuatu,
semacam kalimat permintaan. Ia sebenarnya sedang menunggu. Dan, menunggu bagi
sebagian orang memang membosankan, lebih dari bosan, lebih semacam kekesalan
,
dan untuk yang satu ini, dia bukan perkecualian.
Ia mengalihkan kebosanannya dengan menatap
sekeliling, udara dan atmosfernya tampak begitu asing. Tapi, tidak dengan
interior dan segala sudut di kedai itu. Ia sudah hapal di luar kepala,
menikmatinya sebagai candu yang diam-diam menghinoptisnya untuk datang ke
tempat ini, lagi dan lagi.
Kedai
dengan gaya klassik sederhana. Tidak terlalu luas, tetapi cukup nyaman. Bangku
dengan kursi-kursi kayu berukiran kayu jati, lampu gantung dengan anyaman bambu
yang dipasang di setiap meja, serta panorama eksotis dari jalanan kota yang
temaram tetapi begitu bersahabat.
Ia
suka tempat ini, dan akan lebih menyenangkan lagi apabila ada seseorang yang
duduk di depannya, menemaninya mengobrol sambil menikmati kopi. Tapi sekali
lagi, ia sedang menunggu. Ia tidak datang sendiri, hiburnya pada diri sendiri, mencoba
memprediksi.
Tepat
saat Kanatya mulai berpikir bahwa hasil menunggunya akan sia-sia, seseorang
tiba-tiba muncul di depannya. Cowok jangkung berkaos hitam dan dilapasi jaket
jaens denim biru dongker, dengan potongan rambut jabrik yang di tata seadanya. Tersenyum.
Membuatnya sedikit canggung, sekaligus bingung.
Bukan.
Bukan orang itu.
Tapi,
orang itu nampaknya tidak peduli. Buktinya ia masih berdiri di depannya,
mengabaikan air muka dengan penuh tanda tanya di wajah Kanatya. “Boleh aku
gabung disini?”
Dan
sebelum gadis itu mengangguk, seseorang itu sudah duduk sempurna persis di
depannya, “Aku rasa kita perlu kenalan,” ujarnya dengan intonasi pelan tetapi
menghanyutkan, kemudian tangannya terjulur, “Leo.”
Kanatya
masih belum menyadari keberadaan manusia asing di depannya ini. Ia mengajaknya
berkenalan dengan cara yang menurut gadis itu aneh, sedangkan ia sendiri
bingung kenapa bisa orang ini sekarang duduk di bangkunya. Tanpa harus merasa
perlu meminta persetujuannya. Berani-beraninya.
Merasa
tidak mendapat respons, Leo-nama cowok itu menarik kembali jabat tangannya. “Oh
oke. Nggak apa-apa. Kamu takut sama orang asing ya?” tanyanya dengan suara
jenaka, seolah-olah ia sudah mengenalnya
dengan cukup lama.
Kanatya
melotot, menggeleng kuat-kuat.
Leo
tergelak, “Kalau gitu, kenapa nggak mau diajak kenalan?”
Gadis
mungil itu menghela napas, “Kanatya.”
Akhirnya.
Leo
tersenyum penuh arti, memandangi gadis di depannya itu lamat-lamat. “Bagus.”
“Apanya?”
“Namamu.
Namamu bagus.”
Kanatya
tersenyum, meskipun samar. Tapi, laki-laki pemilik wajah tirus itu masih bisa
menangkap sebersit senyum di wajah Kanatya yang oval.
“Udah
pesen minum?”
Kanatya
menggeleng.
“Espresso
dua Mbak!”tiba-tiba Leo sudah berteriak,
memanggil salah satu waiter yang kebetulan sedang melewati mejanya.
Benar-benar
gila. Leo, cowok asing di depannya ini sudah benar-benar gila. Ia seenaknya
saja memesankan espresso untuknya. Memangnya ia suka? Cowok itu bahkan belum
bertanya minuman apa yang ingin di pesannya. Keterlaluan.
“Aku
nggak suka espresso!” suaranya terdengar antara geram, jengkel, kesal dan
entahlah. Ia baru pertama kali bertemu cowok asing ini. Tapi lagaknya sudah
nyaris membuatnya habis kesabaran.
“Oh
gitu ya?” Leo menjawab santai, mengedikkan sebelah bahunya. “Sorry.”
Apa
dia bilang tadi? Sorry? Hanya sorry?
Ia
tidak merasa perlu untuk menanggapi cowok aneh di depannya itu lagi. Matanya
mulai gelisah menatap jam tangan bermotif vintage di pergelangan tangannya yang
kecil. Kemana dia? Kenapa belum datang?
“Lagi
nunggu orang ya?” tanya Leo setelah ia menyadari perubahan ekspresi dari wajah
gadis di depannya.
Merasa
itu pertanyaan retoris, Kanatya tidak menjawab. Leo tergelak, tertawa kecil.
“Percuma, dia nggak bakal dateng.”
Oke.
Kanatya diam, mencoba mengontrol emosinya. Lihatlah, ia bahkan tidak tahu
menahu soal apa dan siapa yang sedang ia tunggu. Tapi kenapa ia bisa begitu
santai mengucap kalimat itu seolah merasa sok paling tahu?
“Kenapa
nggak suka espresso?” dia bertanya lagi.
“Pahit.”
Leo tergelak.
“Cuma itu? Terus ngapain kamu kesini dan belagak menikmati kopi padahal kamu
nggak suka rasa pahit?”
Skak mat!
Kanatya berpikir
sejenak, “Capuccino lebih favorite.” Ia menyangkal.
“Masih mau
bilang capuccino itu kopi? Apa esensinya
minum kopi kalo cappucino? Itu nggak lebih dari susu yang diberi pernak-pernik
kopi.” Matanya awas menatap lurus ke depan, “Kopi itu pahit, dan jangan ngaku
pecinta kopi kalo kamu cuma suka sama yang manis-manis.”
Kanatya
diam. Tidak menjawab.
Ayolah,
berhenti mengajaknya berbincang lagi. Cowok itu tahu kan, Natya sedang menunggu
seseorang? Dan, itu bukan dirinya. Ia bahkan tidak sama sekali mengharapkan
cowok aneh ini muncul di depannya. Tapi kenapa-
“Kamu
siapa? Ngapain ke sini?”
“Aku
Leo, minum kopi.”
Dan,
ia merasa tidak perlu bertanya lagi. Cowok ini menyebalkan. Berdasarkan
statistik, ada kemungkinan 75% ia mengidap gangguan jiwa, tapi senyum dan
caranya berbicara menghapus habis seluruh ketidaknormalannya. Ia berbeda. Skeptis
tetapi asik, terlalu asal-asalan tapi terlihat wajar.
Sebenarnya
ia tidak mau lagi menanggapi. Ia sudah berniat akan mendiamkan cowok aneh bin
misterius ini kalau saja, ya, kalau saja ia tidak butuh teman bercerita. Ia
bosan menunggu. Sudah terlalu lama, sudah hampir dua jam. Hingga cangkir
espressonya sudah tandas tanpa ia duga-duga, karena ternyata ia mulai menikmati
rasa pahitnya. Tapi seseorang yang ditunggunya tidak kunjung datang. Dan Leo,
adalah satu-satunya orang yang bisa diandalkannya saat ini untuk mengusir rasa
jenuh. Setidaknya Leo pencerita yang baik.
Dengan
segala tingkah konyolnya, membuat persepsi menyebalkan yang sebelumnya
disematkan Kanatya dalam diri cowok itu, musnah entah kemana. Yang ada hanya
obrolan seru, yang ada hanya cerita lucu, yang ada hanya riang, yang ada hanya
gelak tawa.
“Aku bilang juga apa, dia nggak
bakal dateng.”
“Kenapa kamu bisa tau?”
“Simple, kalau dia menganggapmu
istimewa dia nggak akan membiarkanmu menunggu.”
Lalu gadis itu akhirnya sadar, ia telah
salah menunggu. Dan kali ini ia tahu, seseorang yang mengajarinya minum kopi
sepahit espresoo, tidak sepahit perkiraannya. Buktinya, Leo manis.
14/02/2014
Langit Senja
Yogyakarta
PS: cerita ini dibuat tanggal 14 Februari memang, tapi jelas bukan untuk sebuah peringatan tentang kasih sayang dan sebagainya, jika kalian beranggapan begitu. Ini hanya semacam, apa ya? Keseloan? Mungkin. :)