Mata Na yang hitam
pekat itu mengerjap sekali. Mendongak menatap langit. Lalu bola matanya beralih
menatapku, mengehela napas pelan.
“Gerhana,”
ucapnya lirih.
Aku
yang tidak mengerti kemana arah kalimatnya memasang wajah kebingungan, siap
melemparnya dengan pertanyaan berikutnya.
“Namaku,”
ia mengangguk, memberiku penjelasan lebih dulu.
Seperti
ada belut-belut listrik yang mengaktivasi seluruh indraku. Seketika itu juga
tubuhku beku. Tercengang, unbelieveable
dan entah apa lagi. Aku merasa bukan lagi manusia dari planet bumi yang ada di
depanku kini, barangkali ia memang alien dari palnet lain. Atau makhluk
muliseluler dari sebuah UFO yang kebetulan mendarat di bumi.
Apa
pun itu, aku tidak pernah membayangkan bahwa Na adalah Gerhana.
“Namamu?
Namamu benar-benar Gerhana?”
Na
tersenyum, sialnya lagi ia bersikap seolah tidak peduli dengan keterkejutanku
barusan, reaksi dari kalimatnya. Ia justru santai mengangkat bahu, kali ini
membidik kepulan asap rokok yang di latari temaram lampu tiang.
“Aku
memang lahir saat gerhana, nggak perlu seterkejut itu.” Tangannya berhenti
sejenak dari tombol kamera, “kamu ini masuk spesies teoritis.”
Na
tertawa. Aku tidak mengerti apa maksudnya, jadi aku diam saja.
“Sebagian orang
lebih sering dikendalikan oleh teori, jadi wajar saja kalau kamu tidak percaya.
Teori mengatakan bahwa gerhana merupakan salah satu fenomena alam dimana
terjadi kegelapan pada matahari atau bulan, baik total maupun sebagian.” Na meraih
gelas kopinya, menjeda kalimatnya dengan satu tegukan.
“Jadi
orang-orang akan berpikir, mustahil sekali di zaman modern seperti sekarang ini
lambang kegelapan dijadikan sebagai nama. Begitu kan?”
Na
tertawa lagi. Lebih lepas. Ditambah dengan ekspresi supertololku, aku kembali sukses
dibuatnya menjadi orang paling bodoh semuka bumi.
Tapi Na, jelas bukan
kegelapan. Tawanya yang lepas, senyumnya yang sumringah, outfitnya yang ceria.
Na hidup. Cerah. Sama sekali tidak gelap. Tega sekali kedua orang tuanya memberinya
nama Gerhana.
“Jangan bilang setelah
Gerhana, ada embel-embel matahari, bulan bahkan lengkap dengan cincin, total, dan
sebagian di belakang namamu,” aku bergurau.
“Matahari,”
Aku nyaris tersedak.
Wajah Na sama sekali tidak terlihat sedang bergurau saat mengatakan itu. Ia
justru nyengir lebar, membuat lambang victory dengan telunjuk dan jari
tengahnya. Aku terperangah.
“Gerhana Matahari? Hei!
Orang tuamu tega sekali memberimu nama Gerhana, Matahari pula.”
Tangan Na ganti sibuk
merapikan topi rajutnya yang sebagian menutupi poninya yang membelah samping.
“Apa salahnya orang
tuaku memberiku nama Gerhana? Memang kenyataannya aku lahir saat gerhana
matahari.”
“Tapi menjadi sangat
kontras dengan artifiusalnya. Meski harus kuakui, namamu sebenarnya unik.”
“Kamu memperdebatkan
artinya?”
“Ya, Gerhana berarti
gelap. Ditambah gerhana matahari, lebih gelap lagi.”
“Lalu bagaimana
pendapatmu dengan nama Marah Laut yang diberikan oleh seorang penyair kepada
salah satu anak laki-lakinya? Bisa kamu jelaskan interpretasi sebagian orang yang bisa
saja mengartikan bahwa penyair itu mengharapkan anaknya, si pemilik nama itu
kelak akan tumbuh menjadi pribadi yang sering marah-marah? Kemarahan yang
dahsyat seperti laut.” Na mengangkat bahu, tertawa kacil menjelang kalimatnya
yang terakhir.
“Kuberi tahu, banyak
sekali orang-orang yang terlanjur keliru menterjemahkan suatu simbol, cerita, peristiwa
dari suatu fenomena. Mereka hanya melihat dari sisi mana simbol, cerita atau
peristiwa itu berasal. Dan seperti yang kubilang tadi, semua hanya berdasarkan
teori. Tidak benar-benar mengkaji isinya secara detail. Luarnya terlihat nyata
padahal di dalamnya fatamorgana. Kosong. Tidak terbukti. Nol besar.”
Aku seluruhnya dibuat
bungkam. Lihatlah, Na di depanku ini sedang berfilosofi. Padahal aku hanya
bertanya masalah sepele, hanya soal kenapa orang tuanya tega sekali memberinya nama
Gerhana. Ia menjawabnya sudah seperti seorang mahasiswa semester akhir yang
sedang mengikuti sidang skripsi.
“Kamu mahasiswa
filsafat?” ragu-ragu aku bertanya, memotong sejenak sambungan kalimat Na.
Na tersenyum lebar,
menekan salah satu tombol pada kameranya. Matanya sibuk kembali dengan lensa.
Menggeleng.
“Aku belum selesai
menjelaskan.” Lanjutnya.
Mengangguk kupersilakan
ia berpikir sejenak. Membiarkan Na mencerna kalimatnya lebih dulu sebelum
disampaikan kepadaku.
“Soal nama tadi,
lupakan saja. Yang gelap belum berarti gelap. Yang terang belum tentu terang. Simple.”
“Tapi menjadi rumit
dengan relevansi kehidupan zaman modern seperti saat ini kan, Na?”
“Benar, seperti Marah
Laut tadi. Kamu menebak pemilik nama itu nantinya akan tumbuh jadi seorang
emosianal yang meledak-ledak, iya kan? Hanya karena ada kata Marah dinamanya.”
Aku mengangguk,
cengengesan. Tadinya juga kupukir begitu.
“Padahal anak penyair
itu bisa jadi lahir bertepatan dengan fenomena gelombang dahsyat memuntahkan
lautan. Saat laut menjadi marah, saat gelombang menjadi ganas. Who knows.”
Aku sekarang mengerti,
meski kalimat Na masih saja sulit kupahami. Aku menatap Na, lebih intens.
Kuraih kamarenya yang saat ini bebas diletakkannya di selesar tikar.
“Kamu lupa mengambil
gambarmu sendiri. Mau kufoto?”
Na tidak menjawab,
sudah siap dengan pose senyum tiga
jarinya. Tangannya membentuk simbol victory. Aku cekatan menekan tombol kamera.
Cheers! Gambarnya berhasil terbidik pada hitungan ketiga.
“Jadi semua inti
kalimatmu adalah, semua hanya soal interpretasi. Bagaiamana kejadian
sesungguhnya memaparkan, bukan soal teori dan apa yang dikatakan orang lain.
Iya kan?”
Tersenyum lebar aku
menatap Na sambil mengulurkan hasil bidikanku di kameranya. Na tersenyum,
mengambil alih kameranya. Memotret lagi. Aku tidak tahu sudah berapa foto
yang berhasil diabadikannya. Tapi sepertinya
lebih dari gabungan jumlah semua jari tangan dan kaki kami.
Aku melambaikan tangan
pada bapak peracik kopi, memesan satu gelas kopi hitam berisi arang. Kalian
tahu kan? Gelas kopiku sudah tumpah. (remember?)
“Na, kamu belum
bercerita soal kenapa kamu bisa ada di sini dan kenapa kamu datang sendiri. Aku
sudah memesan kopi lagi, siap mendengar interviemu. Kamu sendiri yang bilang
aku cocok jadi wartawan,” aku tersenyum penuh kemenangan.
Na di depanku
menghentikan gerakannya membidik lalu lalang motor melintasi gang. Melirik jam
tangan hitam metalik di pergelangan tangannya.
“Tidak sekarang.” Cekatan
ia membereskan kameranya ke dalam tas mungil di gantungan lehernya,
“Aku harus pulang.
Mungkin lain kali kalau aku ketemu sama
kamu lagi,”
Na sudah berdiri,
melenggang cepat menghampiri bapak peracik kopi. Mengulurkan sejumlah uang.
Bersamaan dengan itu,
aku terbengong-bengong di tempatku, tidak kuasa mengucap sepatah kata pun.
Tidak lama setelahnya, bapak peracik kopi itu datang, menyerahkan segelas kopi
arang pesananku.
Kutatap siluet tubuh Na
yang berjalan santai melintasi trotoar di pembatas pagar. Tidak sempat
menanyakan nomor ponsel, kartu nama atau sebuah deadline untuk pertemuan kami
selanjutnya. Sekarang, Na benar-benar sukses membuatku menjadi orang paling
bodoh sedunia. Bukan pada saat ia tertawa, tapi dalam kepergiannya.
***
Senin,
26 Mei 2014
23.45
WIB
Langit
Senja
Yogyakarta