“Sudah berapa lama?”
“Tujuh ratus tiga puluh hari yang
lalu.”
“Terlalu sebentar kedengarannya.”
“Baik, enam puluh juta sekian
ratus ribu detik?”
“Itu terdengar lebih baik.”
Ia,
laki-laki itu tersenyum. Perlahan merobohkan diri, duduk di sebelahku. Udara
dan terik membuat anak rambutnya bergerak tak teratur, berkilau di tempa cahaya
matahari pukul dua. Aku meliriknya sekilas, lima detik, sebelum dia
menyadarinya dan aku akhirnya membuang muka.
“Tidak tanya hal lain?”
“Semacam apa menurutmu?”
“Tidak ingin tahu bagaimana
kabarku?”
Aku mendengus. Menggumam lirih
tanpa suara, menyumpah-nyumpah. Setelah bertahun-tahun ia menghilang lalu
menurutnya sekarang aku tak perlu canggung untuk menanyainya ‘apa kabar’?
Bodoh.
“Untuk apa? Kamu terlihat lebih
baik sekarang.” Jawabku basa-basi, mengedikkan bahu.
“Begitu ya?” ujarnya setengah
tertawa, “baik kalau kamu tidak ingin bertanya. Kamu, apa kabar? Baik-baik
saja?”
Aku tidak punya pilihan lain
selain menjawab, ‘iya,’ dan anggukan kecil.
Meski sorot matanya tak lagi sama
saat diamatinya aku menganggukkan kepala.
“Kamu membenciku?”
Aku tertegun. Spontan mengharahkan
wajah ke arahnya. Dia masih menatapku dengan sorot muka yang tidak kumengerti. Ada gestur lembut saat dia menatapku dengan
binar mata bersahabat. Aku dibuat luruh, sarkatisku mencair.
“Kenapa bertanya begitu?”
“Who knows?”
Aku ingin berteriak ditelinganya
keras- keras. Memakinya dengan kata ‘Bodoh!” berkali-kali. Dia sama sekali
tidak perlu bertanya apa pun, termasuk menginterogasiku apakah aku membencinya
atau tidak. Terlalu retoris.
Karena dia sudah lebih dulu tahu
bahwa bagiku membencinya adalah sesuatu yang mustahil. Sesuatu yang tidak
mungkin bisa kulakukan, tanpa alasan.
“Bagaimana kuliahmu di sana?” aku
mengganti pertanyaan basinya dengan topik yang lain. Mencairkan suasana.
“So far so good. Kamu sendiri yang bilang kan? Aku terlihat lebih
baik sekarang.”
“Tinggal di sana pasti menyenangkan
ya?”
Dia mengedikkan bahu, tersenyum
kecil. “Tidak jauh beda dengan di sini.”
“Begitu ya? Kupikir lebih
menyenangkan di sana...”
Ia,
laki-laki itu tersenyum. Ada hela napas berat yang mati-matian ia tahan untuk
dihembuskan. Sedang aku di sebelahnya sudah lebih dulu membisu. Urung
melanjutkan kalimatku.
“Aku
minta maaf karena tidak berusaha menghubungimu,”
“Terlalu
berlebihan,” aku berusaha tertawa, menyorot satir wajah bersalahnya.“lagipula
kenapa harus menghubungiku? Ada hal lain yang lebih penting untuk kaulakukan
bukan?”
Dia
menatapku canggung, merenung.“Aku bisa menjelaskan kenapa aku tidak memberimu
kabar waktu itu,”
“Tidak
perlu.” Aku menggeleng, tersenyum menatapnya jumawa, “pukul berapa sekarang?”
“Tiga lebih satu, kenapa?”
Aku berdiri sebagai jawaban atas
tanyanya berusan.
“Mau pergi kemana?”
“Kamu bisa bertanya dua tahun
lagi, dan saat itu aku akan meminta maaf kepadamu karena aku tidak berusaha
menghubungimu setalah ini.”
Kata-kataku terdengar seperti petir
di siang bolong. Dalam hati aku bersorak. Ini sama sekali bukan pembalasan, hanya
soal bagaimana seharusnya aku bersikap normal.
Dua tahun lalu, ia pergi, tanpa
permisi.
Untuk kemudian datang lagi, dengan
skala waktu yang tidak pernah terprediksi.
Dua tahun lalu, aku menunggunya
dengan debar yang sama.
Untuk kemudian
mengerti bahwa menunggu seseorang yang tidak berniat datang adalah kesia-sian
paling bodoh sedunia.
Maka
kali ini, dengan alasan yang tidak pernah dia katakan atas kepergiannya, aku
melakukan hal yang sama. Meski berat, meski tidak pernah terpikirkan
sebelumnya.
Jika
dia bisa memilih datang dan pergi pada saat kapan pun yang dia mau? Lalu kenapa
aku harus memilih tetap tinggal, dan menunggu?
PS; Didedikasikan kepada mereka yang tetap berjuang untuk menunggu sesuatu yang tidak akan pernah datang. Kepada mereka yang terlalu polos untuk memahami bahwa dunia ini tidak melulu berisi keajaiban, Hei! Ayo bangkit dari dudukmu, berkelanalah. Ada sesuatu yang lebih menarik di luar sana, yang tidak akan kamu dapatkan jika kamu masih duduk di sana dan berdiam diri saja, toh percuma, tak ada yang akan menghampiri, Pergilah, kamu bebas menentukan kebebasan, cari bahagiamu sendiri. Menunggu adalah kesia-siaan paling bodoh, kecuali untuk hal-hal yang memang sepatutnya diperjuangkan dan hal-hal lainnya yang sudah pasti datang dengan segala bentuk kepastian.
30/12/2014
22:055 WIB
Langit senja
Yogyakarta